Jumat, 12 April 2013

Cerpen - Oh Piano!



Oh Piano!



            “Cepat! Cepat! Langsung ke lapangan!” teriak salah seorang kakak kelas memanggil kami. “Iya, kak” jawab anak-anak baru. Ini hari ketiga kami mengikuti MOS di SMA Paradizo 4, Jakarta. 3 hari yang terasa sangat lama, penuh dengan kesulitan dan penekanan batin. Setiap pulang dari MOS, ingin rasanya aku mencoret setiap tanggal yang sudah kulewati selama MOS.
            Dan disini, kami anak-anak baru, dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan aku bagian masuk di kelompok Markissa. Aku mendapat teman-teman baru, seperti Ega, Bella, Michelle, dan Dimas. Kami selalu kompak dalam menghadapi setiap tantangan selama MOS ini. Entah kenapa, baru 3 hari, aku merasa sudah dekat dengan mereka seperti sudah berteman lama.
            MOS dilksanakan selama 5 hari. Dan 5 hari itu rasanya seperti 5 bulan. Kami sudah mengenal beberapa kakak kelas pengurus MOS. Salah satunya yang menurutku berbeda adalah Kak Vanno. Dia orangnya galak sekali, dan merupakan senior yang paling ditakuti, tapi aku malah menyukai sikapnya. Macho mungkin, pikirku.
            Sore ini, SMA Paradizo 4 sudah sepi. Tapi aku belum pulang, karena belum dijemput. Badanku lelah sekali, karena tadi siang kelompokku dihukum hormat bendera dan bernyanyi di tengah lapangan. Memalukan dan melelahkan.
*****
            Aku masih kepikiran dengan cerita Kak Sissy. Kak Sissy bilang kalau di sekolah ini banyak misteri, penuh dengan cerita-cerita mistis. Padda awalnya aku tidak percaya, karena memang di setiap sekolah ada cerita mistis. Dan aku termasuk orang yang tidak percaya dengan hantu.
            Tapi yang agak berkesan adalah cerita tentang ruang musik di sebelah kelas XII IPS 4. Ruang musik itu terletak di lantai 2 gedung belakang, dan berada di ruang kedua dari ujung jalan. Katanya dulu sekolah ini adalah Rumah Sakit, dan ruang musik iu adalah ruang operasi. Pernah terjadi tragedi yang menakutkan disana.
            Seorang anak pejabat yang sakit gagal ginjal akan dioperasi di Rumah Sakit tersebut. Ayahnya meminta agar semua dokter mengusahakan sebaik mungkin demi kesembuhan anaknya. Akhirnya, operasi pun dilaksanakan. Semua dokter ahli ginjal telah mengerahkan segala kemampuan yang mereka bisa untuk menolong anak tersebut. Tetapi sayang, maut memang telah berpihak pada anak itu. Dan anak itu tidak tertolong lagi.
            Sang ayah sangat terpuruk, dan ia tidak terima kenyataan karena anak itu adalah anak semata wayangnya Akhirnya, ia melampiaskan kekecewaannya dengan menembaki semua dokter yang ada di ruang itu dengan pistol sampai tewas. Dan terakhir, ia menembak kepalanya sendiri.
Sejak kejadian itu, Rumah sakit tersebut dihancurkan, dan dibangunlah SMA Paradizo 4. Memang bangunan sudah berubah, namun kesan mistis tempat itu masih terasa.
*****
Tiba-tiba aku teringat bahwa dompetku tertinggal di kelas. Aku berniat untuk mengambil dompetku, tapi aku takut. Mana mungkin berjalan sendirian ke kelas di lantai dua paling ujung di tengah keremangan senja seperti ini. Tapi aku gelisah, karena isi di dompetku semuanya penting. Setelah mempertimbangkan , akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kelas tempat kelompok Markissa. Suasananya sepi. Aku terus berjalan setapak demi setapak. Mistis. Ketika aku melewati ruang musik, terdengar suara alunan lembut piano.  Aku berlindung. Ya Tuhan, hamba berlindung padamu.



Ketika sampai di kelas, aku segera mengambil dompet dan segera kembali berjalan menuju pintu gerbang. Kali ini suasana semakin seram. Aku yakin tidak ada orang di ruang musik itu, karena ruangan itu sangat gelap. Tetapi, masih terdengar suara musik alunan dari piano. Sekelebat bayangan hitam melintas dari balik jendela di ruang musik itu.Aku terduduk dan menutup mata. Aku menangis karena takut.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. Air mataku semakin deras. Aku membayangkan ada seorang drakula yang mendekati leherku, dan aku tak bisa berpikir apa kelanjutannya. “Jangan sakiti aku, aku mohon,” rintihku. Tak ada sahutan. Ketika aku menoleh, aku merasa tenang. Ternyata Kak Vanno. Dia menenangkanku dan memapahku berjalan menuju gerbang sekolah. Dia mengingatkan kalau sudah lewa jam 5 sore, jangan berjalan sendirian di lantai dua gedung belakang.
*****
Akhirnya aku dan Kak Vanno berjalan menuju gerbang. Aku bercerita tentang ketakutanku melalui ruang musik itu. Kak Vanno mendengarkan ceritaku dengan santai, dan ia hanya tersenyum. Ya Tuhan, ternyata kalau Kak Vanno tersenyum, dia manis banget. Aku tersipu.
“Katanya kamu nggak percaya hantu, kok takut?” tanya Kak Vanno mencibir.
“Iya sih kak, tapi kalo kejadiannya kayak begini, siapa yang nggak takut?” jawabku malu.
Kak Vanno tersenyum.
“Ya sudah, mulai sekarang jangan teledor lagi ya. Kalo mau melewat jalan ini, jangan sendirian. Nanti...” kata Kak Vanno.
“Nggak kak, jangan diterusin” Bibirku manyun.
Tiba-tiba terdengar suara piano, kali ini suaranya lebih jelas, dan suasana semakin mistis. Lebih dari itu, ada suara biola yang bergesek. Aku merapatkan kedua lenganku. Kak Vanno mengusap kepalaku, “Nggak apa-apa”.
Aku terus berjalan menuruni tangga dan masih terdiam kaku. Kemudian Kak Vanno berbisik, “ Itu tadi yang bunyiin piano penghuni disini. Biarin aja, dia kan juga pengen main musik” candanya.
“Ah, Kak Vanno. Suasana seperti ini, masih sempat aja bercanda.”
Dia tertawa kecil.
“Kak, tadi kok kakak bisa ada di lantai dua?” tanyaku
“Oh, tadi kakak ambil dokumen yang ketinggalan di lantai tiga. Terus waktu di lantai dua, kakak liat kamu duduk sambil nangis, jadi kakak deketi.” Jawab Kak Vanno.
“Tadi kakak bilang jangan jalan sendirian di lantai dua. Emang kenapa ya kak, apa benar ceirita hantu seperti yang dibilang Kak Sissy?”
“Kamu sendiri percaya atau nggak?” Kak Vanno balik bertanya. Aku mengangkat bahu.
 “Jadi kesimpulannya kakak sama sekali nggak masuk ruang musik itu dan mainin piano?” tanyaku getir.
“Nggak”
Jadi siapa? Aku bergidik.



**********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar