Sekolah
Impian
Oleh :
Amrina Rosyada
Hujan telah mengguyur daerah
Panduwan sejak dua jam lalu. Permukiman kumuh di sekitar gunung sampah menambah
kesan prihatin. Tumpukan sampah basah maupun kering menjadi objek utama daerah Panduwan. Sekelompok anak kecil
menari-nari bahagia dengan membawa payung-payung yang setengah rusak. Mereka
tidak memperdulikan hujan yang semakin deras. Badan-badan itu basah kuyup,
tetapi mereka tetap tersenyum bahagia.
“Yun, Bela izin sama kakek dulu ya”
ucap seorang gadis kecil. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan melanjutkan
tariannya. Di sebuah gubuk kecil yang berdinding kardus dan beratap seng
seadanya, duduklah seorang lelaki tua yang sedang membaca Al-Quran dengan
khusyuk.
“Assalamualaikum
kek,” sapa gadis kecil yang bernama Bela itu. Lelaki tua tersebut mengangkat
kepala.
“Waalaikumsalam.
Ya, ada apa Bela?”tanyanya.
“Kek,
Bela mau ikut ojek payung. Boleh ya?”.
“Iya,
tapi kamu hati-hati. Jangan lama-lama ya”.
“Iya
Kek. Assalamualaikum”sahut Bela.
Bela dan teman-temannya pergi
ke sebuah daerah yang cukup ramai. Hujan
bagi mereka adalah saat yang membahagiakan, karena mereka bisa mengumpulkan
uang. Bela punya satu keinginan yang sangat kuat :Ingin sekolah. Sejak
orangtuanya bekerja menjadi TKI di luar negeri, Ia hanya tinggal berdua dengan
yang kakeknya sudah tua. Tetapi Bela tak pernah menyerah. Dengan bekal ajaran
agama yang telah Ia terima sejak kecil, membuatnya menjadi pribadi yang baik
dan selalu bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
“Yuni, kita ke toko itu yuk” ajak
Bela sambil menunjuk sebuah toko di ujung jalan.
“Permisi mbak, butuh payung?” Bela menawarkan
jasa ojek payungnya.
“Berapa
ongkosnya?” tanya perempuan tersebut.
“Terserah
mau kasih berapa mbak” jawab Bela polos.
“Dua
ribu ya”.
“Alhamdulillah,
boleh. Ini payungnya mbak” Bela menyerahkan payungnya.
Satu setengah jam berlalu. Hujan
telah reda, yang tersisa hanya gerimis halus. Bela dan teman-temannya
harus kembali ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, Bela mencium
tangan kakeknya. Kemudian ia berwudhu dan mengerjakan shalat Magrib. Setelah
shalat Magrib, seperti biasa Ia dan kakeknya tadarrusan bersama.
Setelah shalat Magrib, mereka makan
malam seadanya.
“Kek,
Bela ingin sekolah”ucap Bela membuka pembicaran.
“Bela,
maafkan kakek. Kamu memang sudah pantas untuk sekolah. Tetapi kita tidak punya
uang. Makan sehari-hari saja, kita hanya mengandalkan dari hasil pemulungan
sampah”jawab Kek Dulmajid lirih.
Hatinya
begitu sedih mendengar keinginan cucu tersayangnya yang ingin sekolah.
“Iya Bela tahu, Kek. Tapi apakah
setiap anak-anak disini tidak sekolah?”tanya Bela dengan polos.
“Entahlah,
Kakek prihatin. Kakek sangat berharap pemimpin kita bisa menyadari keadaan
rakyat kecil seperti kita”jawab Kakek Dumajid lagi.
“Pemimpin
itu siapa kek?” Bela mendongakkan kepalanya.
“Pemimpin itu orang yang diamanatkan untuk
memimpin dan mensejahterahkan kehidupan masyarakat di suatu daerah”jawab Kek
Dulmajid lembut.
“Kalau begitu, Bela harus kasih tahu
pemimpin itu, bagaimana keadaan kita disini” ujar anak kecil tersebut dengan
bersemangat.
“Hahaha, kamu masih kecil, Nak. Ya sudah, cepat
habiskan nasinya. Setelah itu kita shalat Isya berjamaah”sahut Kek Dulmajid.
“Iya,Kek”.
Pagi yang cerah, mentari menampakkan
diri dari ufuk timur. Penduduk di Panduwan memulai hari mereka. Hari-hari yang
berkumpul di gunung sampah. Hari-hari yang menggantungkan penghasilan dari
gunung sampah. Tetapi mereka masih bersyukur. Syukur itulah yang membuat nikmat
selalu bertambah, tak akan habis nikmat Tuhan sampai kita mati pun.
Bela, Yuni, Rani, Doni, dan Zani
sejak pagi sudah mengais-ngais tumpukan sampah. Mencari rezeki di balik
tumpukan sampah. Mereka melakukan hal ini sejak masih sangat kecil, bahkan
mungkin jika mereka membayangkan sebuah gunung, yang muncul tetaplah Gunung Sampah. Bela masih berkutat
di tumpukan sampah. Tiba-tiba matanya terbelalak. Ia melihat sesuatu yang
menarik perhatiannya. Ia mengambil benda itu, yang ternyata adalah buku bacaan
sekolah.
Ia berteriak bahagia, bahkan ia
loncat-loncat sampai semua orang melihatnya.
“Hei, Bela. Ada apa sih?”teriak Doni dari
balik batu besar.
“Don,
aku nemuin buku sekolah. Kita bisa belajar!” teriak Bela tak kalah kuatnya. Kek
Dulmajid yang kebetulan ada disana, hanya menggeleng-geleng. Tak disadarinya,
air mata jatuh di pipinya. Ia amat menyayangi cucu semata wayangnya.
“Bela, jangan mimpi deh. Kita ini
miskin, mana bisa sekolah”sahut Zani.
“Kata
siapa? Kan Allah selalu mendengar doa-doa hambanya. Bela selalu berdoa
kok.”jawab Bela lugas.
“Iya kan, Kek?” tanya Bela menoleh ke Kakek
Dulmajid. Kakek Dulmajid baru tersadar dan cepat-cepat mengusap air matanya.
“Iya,
Allah Maha Mendengar”jawab Kek Dulmajid lantang.
Sejak menemukan buku sekolah itu,
Bela belajar dengan tekun. Ia sangat bahagia bisa mengenal sedikit tentang
pelajaran sekolah. Bela bahkan mengajarkan kepada teman-temannya. Ia
benar-benar berusaha untuk bisa sekolah.
Malam ini, hujan turun dengan sangat
deras. Rumah kardus yang merupakan tempat tinggal satu-satunya bagi Bela dan
Kakek Dulmajid sudah bergoyang-goyang. Nasib rumah ini sangat kritis.
Seandainya ada angin besar yang menerpa, rumah mereka akan roboh.
“Kek, gimana ini? Bela takut!”
teriak Bela dari ruang depan.
“ Nggak apa-apa Bela, berdoa aja.
Ayo, tidur, nanti bangunnya kesiangan.” ajak Kek Dulmajid.
Bela menuruti kata-kata kakeknya. Ia
berdoa, “Ya Allah, Bela minta semoga
rumah ini tidak roboh, karena ini satu-satunya tempat tinggal kami”. Bela tidur di kamar yang satu-satunya di rumah
itu, bersama dengan kakeknya.
Sementara di luar hujan semakin
deras. Hingga subuh menjelang, hujan masih turun, walaupun sudah agak reda.
Besoknya, desa Panduwan terendam
oleh air. Ketika Bela terbangun, ia mendapati dirinya berada di tenda
pengungsian. Ia langsung duduk, dan menanyakan
keadaan ini kepada warga sekitar.
“Kakeeeeekkkkk Dulmajiddd!!” Bela
berteriak. Ia melihat desanya terendam air yang tingginya hampir mencapai 2
meter. Bela menangis, berlari kesana kemari mencari kakeknya. Ia mendekati Mang
Ujang, tetangganya.
“Mang, kakek dimana?” tanya Bela.
“Maaf Bela, Mamang tidak tahu. Tadi
pagi Mamang melihat kakek Dulmajid
ketika ia menyuruh Mamang untuk membawamu kesini. Setelah itu, Mamang tidak
tahu keberadaan Kakek Dulmajid.” Jawab Mang Ujang dengan nada lirih.
“Ya Allah, tolong selamatkan kakek.
Bela cuma punya Kakek disini” Bela mulai menangis dan berlutut di tengah-tengah
kesibukan orang-orang yang mengungsi.
Tiba-tiba ada seorang lelaki separuh
baya menghampiri Bela. Ia menenangkan Bela dan berkata, “Bela, kakekmu hanyut
dibawa air. Banyak warga yang hilang dalam banjir bandang ini. Sabar ya, Nak.”
“Bapak siapa?” tanya Bela sendu.
“Saya reporter yang meliput banjir
ini, Nak. Tadi saya melihat nama kakekmu ada di daftar korban banjir.” jawabnya
singkat.
Kali ini Bela benar-benar menangis.
Ia telah kehilangan keluarga satu-satunya yang ia punya di Jakarta. Bela
hanyalah anak kecil yang belum tahu tentang kehidupan. Mang Ujang iba
melihatnya. Ia memutuskan untuk mengajak Bela tinggal bersama keluarganya.
Karena takut sendiri, Bela pun bersedia tinggal bersama keluarga Mang Ujang.
Akibat peristiwa banjir itu, Bela
tumbuh menjadi anak yang tegar. Ia berusaha mencari uang dengan kerja kerasnya.
Ia tidak ingin menyusahkan keluarga Mang Ujang yang telah bersedia
menampungnya. Sejak peristiwa banjir itu pula Bela menjadi cukup dekat dengan
lelaki petugas evakuasi yang membetritahu tentang kakeknya pada waktu banjir
itu.
Bela sering menanyakan tentang
sekolah, pekerjaan orang dewasa, dan kehidupann anak-anak yang tidak sekolah.
Orang itu sangat simpati dengan niat Bela yang ingin sekolah. Ia berusaha untuk
mewujudkan keinginan Bela. Ia memberitakan tentang keadaan anak-anak yang tidak
sekolah di daerah kumuh. Ia juga mengajukan berbagai permintaan ke pihak
pemerintah agar dibangun sebuah sekolah
di Desa Panduwan.
Pemimpin daerah tesebut merespons
baik permintaan reporter tersebut. Setelah meninjau lokasi, akhirnya
dibangunlah sebuah sekolah yang menyediakan pendidikan dari tingkat SD, SMP,
dan SMA.
Setelah 1 tahun berjalan, akhirnya
berdirilah sebuah sekolah di Desa Panduwan. Sekolah ini merupakan tempat yang
dicintai anak-anak, tempat yang membuat kecerahan bagi anak-anak. Dan tempat
yang nantinya akan melahirkan tunas-tunas bangsa yang cerdas dan jujur.
Bela sangat bahagia. Ia bersyukur
kepada Allah, ternyata keinginannya untuk sekolah bukan hanya sekedar mimpi.
Allah telah mewujudkan impiannya! Benar-benar indah! Bela tumbuh menjadi anak
yang cerdas dan berprestasi. Ia bisa menyelesaikan sekolahnya dengan sangat
baik dan melanjutkan ke Universitas Negeri dengan beasiswa. Ketika orang tuanya
pulang, mereka sangat bangga kepada anak mereka. Akhirnya Bela menjadi orang
yang sukses dengan selalu bergantung dan percaya kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar