Rabu, 26 Desember 2012

Cerpen- Sekolah Impian



Sekolah Impian
Oleh : Amrina Rosyada

            Hujan telah mengguyur daerah Panduwan sejak dua jam lalu. Permukiman kumuh di sekitar gunung sampah menambah kesan prihatin. Tumpukan sampah basah maupun kering menjadi objek  utama daerah Panduwan. Sekelompok anak kecil menari-nari bahagia dengan membawa payung-payung yang setengah rusak. Mereka tidak memperdulikan hujan yang semakin deras. Badan-badan itu basah kuyup, tetapi mereka tetap tersenyum bahagia.
            “Yun, Bela izin sama kakek dulu ya” ucap seorang gadis kecil. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan melanjutkan tariannya. Di sebuah gubuk kecil yang berdinding kardus dan beratap seng seadanya, duduklah seorang lelaki tua yang sedang membaca Al-Quran dengan khusyuk.
“Assalamualaikum kek,” sapa gadis kecil yang bernama Bela itu. Lelaki tua tersebut mengangkat kepala.
“Waalaikumsalam. Ya, ada apa Bela?”tanyanya.
“Kek, Bela mau ikut ojek payung. Boleh ya?”.
“Iya, tapi kamu hati-hati. Jangan lama-lama ya”.
“Iya Kek. Assalamualaikum”sahut Bela.       
            Bela dan teman-temannya pergi ke  sebuah daerah yang cukup ramai. Hujan bagi mereka adalah saat yang membahagiakan, karena mereka bisa mengumpulkan uang. Bela punya satu keinginan yang sangat kuat :Ingin sekolah. Sejak orangtuanya bekerja menjadi TKI di luar negeri, Ia hanya tinggal berdua dengan yang kakeknya sudah tua. Tetapi Bela tak pernah menyerah. Dengan bekal ajaran agama yang telah Ia terima sejak kecil, membuatnya menjadi pribadi yang baik dan selalu bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
            “Yuni, kita ke toko itu yuk” ajak Bela sambil menunjuk sebuah toko di ujung jalan.
 “Permisi mbak, butuh payung?” Bela menawarkan jasa ojek payungnya.
“Berapa ongkosnya?” tanya perempuan tersebut.
“Terserah mau kasih berapa mbak” jawab Bela polos.
“Dua ribu ya”.
“Alhamdulillah, boleh. Ini payungnya mbak” Bela menyerahkan payungnya.
            Satu setengah jam berlalu. Hujan telah reda, yang tersisa hanya gerimis halus. Bela dan teman-temannya harus  kembali ke rumah masing-masing.
            Sesampainya di rumah, Bela mencium tangan kakeknya. Kemudian ia berwudhu dan mengerjakan shalat Magrib. Setelah shalat Magrib, seperti biasa Ia dan kakeknya tadarrusan bersama.
            Setelah shalat Magrib, mereka makan malam seadanya.
“Kek, Bela ingin sekolah”ucap Bela membuka pembicaran.
“Bela, maafkan kakek. Kamu memang sudah pantas untuk sekolah. Tetapi kita tidak punya uang. Makan sehari-hari saja, kita hanya mengandalkan dari hasil pemulungan sampah”jawab Kek Dulmajid lirih.
Hatinya begitu sedih mendengar keinginan cucu tersayangnya yang ingin sekolah.
            “Iya Bela tahu, Kek. Tapi apakah setiap anak-anak disini tidak sekolah?”tanya Bela dengan polos.
“Entahlah, Kakek prihatin. Kakek sangat berharap pemimpin kita bisa menyadari keadaan rakyat kecil seperti kita”jawab Kakek Dumajid lagi.
“Pemimpin itu siapa kek?” Bela mendongakkan kepalanya.
 “Pemimpin itu orang yang diamanatkan untuk memimpin dan mensejahterahkan kehidupan masyarakat di suatu daerah”jawab Kek Dulmajid lembut.
            “Kalau begitu, Bela harus kasih tahu pemimpin itu, bagaimana keadaan kita disini” ujar anak kecil tersebut dengan bersemangat.
“Hahaha,  kamu masih kecil, Nak. Ya sudah, cepat habiskan nasinya. Setelah itu kita shalat Isya berjamaah”sahut Kek Dulmajid.
“Iya,Kek”.
            Pagi yang cerah, mentari menampakkan diri dari ufuk timur. Penduduk di Panduwan memulai hari mereka. Hari-hari yang berkumpul di gunung sampah. Hari-hari yang menggantungkan penghasilan dari gunung sampah. Tetapi mereka masih bersyukur. Syukur itulah yang membuat nikmat selalu bertambah, tak akan habis nikmat Tuhan sampai kita mati pun.
            Bela, Yuni, Rani, Doni, dan Zani sejak pagi sudah mengais-ngais tumpukan sampah. Mencari rezeki di balik tumpukan sampah. Mereka melakukan hal ini sejak masih sangat kecil, bahkan mungkin jika mereka membayangkan sebuah gunung, yang muncul  tetaplah Gunung Sampah. Bela masih berkutat di tumpukan sampah. Tiba-tiba matanya terbelalak. Ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia mengambil benda itu, yang ternyata adalah buku bacaan sekolah.
            Ia berteriak bahagia, bahkan ia loncat-loncat sampai semua orang melihatnya.
 “Hei, Bela. Ada apa sih?”teriak Doni dari balik batu besar.
“Don, aku nemuin buku sekolah. Kita bisa belajar!” teriak Bela tak kalah kuatnya. Kek Dulmajid yang kebetulan ada disana, hanya menggeleng-geleng. Tak disadarinya, air mata jatuh di pipinya. Ia amat menyayangi cucu semata wayangnya.
            “Bela, jangan mimpi deh. Kita ini miskin, mana bisa sekolah”sahut Zani.
“Kata siapa? Kan Allah selalu mendengar doa-doa hambanya. Bela selalu berdoa kok.”jawab Bela lugas.
 “Iya kan, Kek?” tanya Bela menoleh ke Kakek Dulmajid. Kakek Dulmajid baru tersadar dan cepat-cepat mengusap air matanya.
“Iya, Allah Maha Mendengar”jawab Kek Dulmajid lantang.
            Sejak menemukan buku sekolah itu, Bela belajar dengan tekun. Ia sangat bahagia bisa mengenal sedikit tentang pelajaran sekolah. Bela bahkan mengajarkan kepada teman-temannya. Ia benar-benar berusaha untuk bisa sekolah.  
            Malam ini, hujan turun dengan sangat deras. Rumah kardus yang merupakan tempat tinggal satu-satunya bagi Bela dan Kakek Dulmajid sudah bergoyang-goyang. Nasib rumah ini sangat kritis. Seandainya ada angin besar yang menerpa, rumah mereka akan roboh.
            “Kek, gimana ini? Bela takut!” teriak Bela dari ruang depan.
            “ Nggak apa-apa Bela, berdoa aja. Ayo, tidur, nanti bangunnya kesiangan.” ajak Kek Dulmajid.
            Bela menuruti kata-kata kakeknya. Ia berdoa,  “Ya Allah, Bela minta semoga rumah ini tidak roboh, karena ini satu-satunya tempat tinggal kami”.  Bela tidur di kamar yang satu-satunya di rumah itu, bersama dengan kakeknya.
            Sementara di luar hujan semakin deras. Hingga subuh menjelang, hujan masih turun, walaupun sudah agak reda.
            Besoknya, desa Panduwan terendam oleh air. Ketika Bela terbangun, ia mendapati dirinya berada di tenda pengungsian. Ia langsung duduk, dan menanyakan  keadaan ini kepada warga sekitar.
            “Kakeeeeekkkkk Dulmajiddd!!” Bela berteriak. Ia melihat desanya terendam air yang tingginya hampir mencapai 2 meter. Bela menangis, berlari kesana kemari mencari kakeknya. Ia mendekati Mang Ujang, tetangganya.
            “Mang, kakek dimana?” tanya Bela.
            “Maaf Bela, Mamang tidak tahu. Tadi pagi Mamang  melihat kakek Dulmajid ketika ia menyuruh Mamang untuk membawamu kesini. Setelah itu, Mamang tidak tahu keberadaan Kakek Dulmajid.” Jawab Mang Ujang dengan nada lirih.
            “Ya Allah, tolong selamatkan kakek. Bela cuma punya Kakek disini” Bela mulai menangis dan berlutut di tengah-tengah kesibukan orang-orang yang mengungsi.
            Tiba-tiba ada seorang lelaki separuh baya menghampiri Bela. Ia menenangkan Bela dan berkata, “Bela, kakekmu hanyut dibawa air. Banyak warga yang hilang dalam banjir bandang ini. Sabar ya, Nak.”
            “Bapak siapa?” tanya Bela sendu.
            “Saya reporter yang meliput banjir ini, Nak. Tadi saya melihat nama kakekmu ada di daftar korban banjir.” jawabnya singkat.
            Kali ini Bela benar-benar menangis. Ia telah kehilangan keluarga satu-satunya yang ia punya di Jakarta. Bela hanyalah anak kecil yang belum tahu tentang kehidupan. Mang Ujang iba melihatnya. Ia memutuskan untuk mengajak Bela tinggal bersama keluarganya. Karena takut sendiri, Bela pun bersedia tinggal bersama keluarga Mang Ujang.
            

Akibat peristiwa banjir itu, Bela tumbuh menjadi anak yang tegar. Ia berusaha mencari uang dengan kerja kerasnya. Ia tidak ingin menyusahkan keluarga Mang Ujang yang telah bersedia menampungnya. Sejak peristiwa banjir itu pula Bela menjadi cukup dekat dengan lelaki petugas evakuasi yang membetritahu tentang kakeknya pada waktu banjir itu.
            Bela sering menanyakan tentang sekolah, pekerjaan orang dewasa, dan kehidupann anak-anak yang tidak sekolah. Orang itu sangat simpati dengan niat Bela yang ingin sekolah. Ia berusaha untuk mewujudkan keinginan Bela. Ia memberitakan tentang keadaan anak-anak yang tidak sekolah di daerah kumuh. Ia juga mengajukan berbagai permintaan ke pihak pemerintah agar dibangun sebuah sekolah  di Desa Panduwan.
            Pemimpin daerah tesebut merespons baik permintaan reporter tersebut. Setelah meninjau lokasi, akhirnya dibangunlah sebuah sekolah yang menyediakan pendidikan dari tingkat SD, SMP, dan SMA.
            Setelah 1 tahun berjalan, akhirnya berdirilah sebuah sekolah di Desa Panduwan. Sekolah ini merupakan tempat yang dicintai anak-anak, tempat yang membuat kecerahan bagi anak-anak. Dan tempat yang nantinya akan melahirkan tunas-tunas bangsa yang cerdas dan jujur.
            Bela sangat bahagia. Ia bersyukur kepada Allah, ternyata keinginannya untuk sekolah bukan hanya sekedar mimpi. Allah telah mewujudkan impiannya! Benar-benar indah! Bela tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berprestasi. Ia bisa menyelesaikan sekolahnya dengan sangat baik dan melanjutkan ke Universitas Negeri dengan beasiswa. Ketika orang tuanya pulang, mereka sangat bangga kepada anak mereka. Akhirnya Bela menjadi orang yang sukses dengan selalu bergantung dan percaya kepada Allah SWT. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar