Minggu, 31 Maret 2013

Cerpen ~ Antara Tritan, Aku, dan Rhaka



Antara Tritan, Aku, dan Rhaka
            Oleh : Amrina Rosyada



          Aku berlari secepat mungkin memasuki sekolah. Hari ini aku terlambat bangun, sehingga aku terburu-buru pergi ke sekolah. Semoga tidak terlambat, batinku. Pelajaran pertama hari ini adalah Matematika, dan aku tidak boleh terlambat. Pr... Aku mencoba mengingat-ingat sambil terus berlari. Ya, Alhamdulillah aku sudah mengerjakannya dua hari yang lalu bersama Rhaka.
            Hap, aku berdiri tepat di pintu kelas. Aku tidak terlambat. Dengan tersenyum puas, aku berjalan menuju tempat dudukku. Riana, teman sebangkuku hanya menggeleng-geleng melihat aku dengan napas yang masih tersengal- sengal.
            “Aku terlambat?” tanyaku.
            “Tidak, bel masuk 5 menit lagi.” jawab Rhaka yang tiba-tiba muncul di depanku.
            “ Eh Rhaka, haha. Alhamduillah, lega banget, soalnya tadi pergi dari rumah jam 6.20” seruku.
             “ Keira, Keira. Masih kelas sepuluh kok udah berani terlambat.” seru Rhaka.
            Aku memanyunkan bibir.
            Aku duduk di sebelah Riana. Riana adalah temanku yang berasal dari sekolah yang berbeda denganku. Riana anak yang baik, sabar, dan pintar. Aku beruntung bisa duduk sebangku dengannya, karena menurutku mendapat teman sebangku yang pintar bisa membuat kita juga pintar.

            Bel berbunyi...
            Guru matematika memasuki kelas. Ia mengajar selama 2 jam pelajaran, kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Fisika. Pagi yang penuh dengan angka, pikirku.
            Ketika istirahat, aku bersama Rhaka dan Riana pergi ke kantin.  Saat di perjalanan menuju kantin, kami bertemu dengan Kak Tritan, kakak kelas XII. Kami berjalan menunduk di depannya, dan melanjutkan perjalanan ke kantin. Di kantin, kami makan bersama sambil mengobrol. Tepat saat bel masuk berbunyi, kami sudah berada di depan kelas.
            Saat pulang sekolah, aku pulang bersama Rhaka. Rhaka adalah sahabat sekaligus tetanggaku. Rumah kami bersebelahan, dan terletak di komplek yang sama. Sejak kecil, aku sudah berteman dengannya, dan sekolah kami selalu sama. Karena itu juga, kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Tetapi sesekali kami tidak berangkat bersama, seperti tadi pagi.

Aku ingat ketika kami masih kecil. Apabila kami bermusuhan, lucu sekali. Kami pulang di jalan yang sama, tetapi aku di ruas jalan kanan, sedangkan dia di ruas jalan kiri. Kami saling lirik-lirikan dengan muka yang dibuat-buat seram. Aku juga ingat ketika kami akan pergi jogging minggu pagi. Kalau aku yang bangun lebih dulu, aku akan melempar kerikil kecil ke jendela kamarnya untuk membangunkannya , begitu juga sebaliknya. Hahaha, aku menyukai kebersamaan seperti itu.

*****

Malam ini, setelah selesai mengerjakan pr untuk besok, aku duduk di teras kamar. Sebenarnya, diam-diam aku menyukai Kak Tritan. Entah sejak pertama kali aku masuk sekolah, aku sudah meyukainya. Waktu itu gara-gara aku jatuh di depan kelasnya. Aku terjatuh karena kakiku terkilir, dan hanya dia yang menolong aku, kemudian dia membawaku ke UKS sampai kakiku sembuh.Tapi, aku belum sempat mengucapkan terima kasih sampai dia pergi.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Sms masuk dari Rhaka
“Ra, bantuin bikin pr dong. Pr kimiaku belum selesai nih, ayolah kan kamu jago kimia ;)”
Aku membalas “Ah bisa aja kamu. Yaudah cepetan ke rumah, nanti aku tunggu di depan pagar”.
“Oke, thankyou Ra”

Aku menuruni tangga dengan cepat. Ketika sampai di depan pagar, Rhaka sudah menunggu di luar. Cepet banget, pikirku. Akhirnya kami belajar bersama, tetapi bukan sepenuhnya belajar. Sesekali diselingi dengan canda dan tawa. Dan sekarang sudah pukul 22.00 WIB, Rhaka belum juga pulang, sedangkan pr Kimia sudah selesai.
Rhaka sudah tahu kalau aku menyukai Kak Tritan, karena dia adalah tempat pertama kalau aku mau curhat. Begitu juga sebaliknya, kalau mau curhat dia selalu cerita denganku. Dan sekarang kami sedang membicarakan Kak Tritan, tidak menyadari kalau hari sudah larut.

“Rhaka, kamu tau kan kalo aku suka sama Kak Tritan?” tanyaku.
“Iya. Trus kenapa?” Rhaka berbalik nanya.
“ Menurut kamu mungkin nggak ya, Kak Tritan suka juga?”
“Mungkin, kalo..” jawabnya malas, sambil bermain handphone.
“Kalo apa?” sentakku
“Kalo kamu pintar, baik, merubah penampilan, dan dikenal banyak orang dengan prestasi. Tapi jangan sampai terlihat mencari perhatian.” ujarnya.
“Emangnya sekarang aku gimana?” tanyaku heran.
“Kamu cantik, pintar, baik sih, ya kamu harus mengubah penampilan sedikit saja. Kamu harus menjaga sikap di depan orang-orang, terutama kakak kelas. Tapi menurut aku nggak usah pikirin pacaran dulu deh, kita kan masih kelas sepuluh harusnya pikirin prestasi sebanyak mungkin. Lagian masih bocah haha” candanya.
Aku berpikir. “Iya, tapi aku nanya begitu bukannya mikirin pacaran. Hmm,  jadi ide kamu begitu, oke nanti aku pikirin lagi. Makasih ya” jawabku.
“Sip. Aku pulang ya.”pamit Rhaka. Setelah berpamitan dengan orangtuaku, Rhaka pulang ke rumahnya.
“Hati-hati” seruku di teras depan rumah.
“Rumah kita bersebelahan kok. Ini udah sampe haha,” teriaknya dari halaman depan rumahnya.
Kami tertawa bersama.

            *****
            Waktu berlalu begitu cepat. Aku sudah memenuhi usul Rhaka. Sekarang aku menjadi juara kelas dan sering mewakili sekolah dalam lomba Speech Contest. Namaku juga cukup dikenal di sekolah.
            Mengenai Kak Tritan, aku masih menyukainya dalam diam. Ya, memang seperti itulah. Setiap aku menyukai seseorang, aku selalu diam seakan-akan tak ada tanda-tanda yang aku tunjukkan. Padahal aku selalu memperhatikannya.
            Tetapi semakin cepatnya waktu berlalu, aku mulai takut dengan ‘sesuatu’ yang sejak dulu selalu kuusahakan untuk dibuang jauh-jauh. Perpisahan. Ya, perpisahan karena kepergian Kak Tritan dan teman-temannya. Mereka kelas XII, dan mereka harus melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi.

            Apabila bayangan itu terlintas di benakku, aku selalu berusaha untuk melupakannya. Tetapi, sekalipun aku amnesia, hal itu tetap akan terjadi. Perpisahan itu tetap akan terjadi. Aku mendongakkan kepala menatap langit.

            Di taman sekolah, aku duduk sambil  memainkan pena. Aku sedang berpikir untuk menyelesaikan karya ilmiahku. Tetapi pikiranku buntu. Mata ini hanya memandang kosong setiap sudut taman. Tiba-tiba seseorangmendekatiku.

            “ Kamu Keira, kan?”
            “Iya,” jawabku sambil menoleh. Astaga! Kak Tritan, kenapa dia disini,  kenapa dia mencariku? Aku bahagia sekaligus gugup. Sangat gugup.
            “Ada apa kak?” tanyaku memecah keheningan
            “Tadi ada teman kamu yang namanya Rhaka. Dia titip buku ini, katanya untuk karya ilmiah kamu” Kak Tritan menyodorkan sebuah buku.
            “Makasih kak.” Aku mengambil buku itu dengan gemetar dan tersenyum yang seadanya.
            Kak Tritan masih duduk. Akhirnya aku mengumpulkan keberanian. Aku harus bertanya tentang ini. Sekarang.
            “Kakak mau lanjut kuliah dimana?” tanyaku.
            “Rencananya mau lanjut ke Hubungan Internasional, Universitas Indonesia” jawabnya mantap.
            “Wah, hebat itu kak.”sambungku
            “Ya begitulah haha. Kakak sih pengennya setelah tamat nanti bisa jadi wartawan, jadi bisa keliling dunia.”ujarnya
            “Amin kak. Semoga terkabul haha” seruku.
            “Amin amin. Ya sudah, lanjutin karya ilmiahnya!” Kak Tritan tersenyum dan berdiri hendak pergi.
            “Iya, makasih kak” kataku setengah berteriak karena Kak Tritan telah berjalan. Ya ampun, aku seneng banget. Mimpi apa aku semalam Ya Allah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Thankyou Rhaka, kau telah titipkan buku ini ke Kak Tritan.

            Sore ini, aku sedang di rumah Aliesya. Kami kerja kelompok bersama. Setelah tugas selesai, kami semua pulang ke rumah masing-masing. Aku pulang bersama Rhaka menggunakan motor Rhaka. Di sepanjang perjalanan, aku bercerita tentang Kak Tritan kemarin. Aku bercerita panjang lebar.
            “Bisa nggak Ra, berhenti dulu ngomongin Tritan?” ucapan Rhaka agak menyentak.
            Aku terperangah. Rhaka tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku terkejut, dan takut kalau sampai Rhaka marah kepadaku. Aku terdiam tanpa kata sampai motornya berhenti di depan rumahku. Aku segera turun dan mengucapkan terima kasih sambil menunduk dan berlari. Air mataku membasahi muka, tetapi sebisa mungkin aku tutupi dari Rhaka.
            Rhaka bingung melihat tingkahku, tetapi dia langsung melanjutkan ke rumahnya dan memarkirkan motor.
            *****

            Malam ini perasaanku campur aduk. Takut, sedih, dan rasa bersalah menghantuiku. Aku takut sekali Rhaka marah. Selama ini Rhaka paling bisa menjaga perasaanku, dia hampir nggak pernah membuat aku marah. Tapi kejadian sore tadi benar-benar membuat aku merasa bersalah. Aku harus meminta maaf dengan Rhaka, pikirku.
Pagi-pagi sekali, aku meletakkan cokelat kecil di depan pintu rumah Rhaka sebagai permintaan maaf. Aku berjingkat-jingkat agar langkahku tak terdengar.

            “Mau kemana kamu?”
            Aku terkejut. Duh, ketahuan, pikirku. Aku hendak berlari, tetapi tasku ditahan. Akhirnya aku memutuskan untuk menoleh. Ada Rhaka.
            “Maaf Rhaka, aku cuma mau minta maaf. Kamu pasti marah kan sama aku gara-gara kemarin?” tanyaku takut-takut.
            “ Kalo kemarin emang iya, tapi semalem nggak lagi kok. Malah aku yang mau minta maaf karena udah bikin kamu takut dan sedih. Kamu nangis kan kemarin?” selidik Rhaka.
            Aku tergagap. “Ya ampun, harusnya aku yang minta maaf, Kamu nggak salah kok.”kataku  tersenyum.
            “Oke deh, aku maafin. Kita baikan ya” Rhaka menyodorkan jari telunjuknya.
            Aku menyambut jari telunjuknya dan menyatukan jari telunjuk kami. Kami tersenyum dan tertawa bersama.
            *****
           
Bulan depan, akan ada acara perpisahan. Sekarang aku harus benar-benar mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Kak Tritan, biarlah dia meraih impiannya disana, walaupun dia tidak tahu bahwa ada orang yang selalu merindukannya disini. Aku, Keira.
            Aku membuka diary dan menulis :

“Dear Diary,
Aku benci dengan perpisahan. Benci banget. Aku nggak mau mengenal yang namanya sakit hati, tetapi aku sudah terlanjur jatuh cinta. Aku tahu, berani jatuh cinta sama saja dengan berani sakit hati. Tetapi sekarang, bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini,  dari ruang yang bernama jatuh cinta dan menghindari sakit hati. Aku tak ingin adanya perpisahan. Sungguh, aku menyayangi dia, dan aku belum siap untuk berpisah darinya. Aku ingin dia tetap disini walaupun dia bukan milikku. Aku mencintainya sebagai cinta pertama, tetapi disaat aku mencintainya juga, aku berpikir bahwa dia adalah cinta terakhir.”
Aku menutup diaryku, dan menghapus air mata yang mengalir di pipi. Ya Allah, tabahkanlah aku.
*****


Perpisahan kelas XII dilaksanakan hari ini. Dan aku diminta untuk datang ke acara itu, karena aku akan menjadi salah satu pengisi acara. Rasanya tak sanggup untuk hadir disana. Sebelum acara dimulai, aku membisikkan sesuatu dengan temanku yang menjadi seksi dokumentasi.
Di ujung acara, ada sesi foto-foto bersama. Kakak kelas berfoto bersama dalam suasana haru. Isak tangis terdengar di sana-sini. Aku terbawa suasana, air mataku membasahi pipi, terharu. Sebenarnya tangisan ini bukan hanya semata terbawa suasana, tetapi tangisan dari hatiku, melepas Kak Tritan. Apakah ini pertemuan terakhirku dengan Kak Tritan? Atau bukan yang terakhir? Ya Allah, semoga Engkau menyatukan kami, aku percaya rencanaMu pasti indah, dan tak seorang pun mengetahuinya. Amin.

Aku mendekati Kak Tritan. “Selamat ya kak, sekarang kakak bisa melanjutkan ke UI. Sudah lulus kan di HI UI?” tanyaku.
“Alhamdulillah, iya sudah lulus. Makasih ya. Kamu juga harus sukses, kamu kan pintar hehe” candanya.
“Haha, bisa aja. Iya, insya Allah kak. Sekali lagi, selamat ya kak.” Aku tersenyum, tetapi air mataku mengalir. Ingin rasanya aku mengucapkan  beberapa kalimat lagi sebelum ia pergi. Tapi kalimat itu tidak terucap, lidahku kelu.
Kak Tritan membalas senyumku. Tetapi senyum kali ini sulit untuk diartikan. Senyum yang tulus, tapi terselip pandangan haru dan rindu yang membuat hatiku seperti tertusuk duri berbisa. Nyeri..

            Tiba-tiba datang seorang temanku yang memegang kamera. Dia meminta Kak Tritan untuk tetap berdiri disana dan berfoto denganku. Untunglah Kak Tritan tidak keberatan. Akhirnya dia memotret aku dan Kak Tritan. Aku mengucapkan terima kasih kepada Kak Tritan, kemudian melirik temanku, dan mengacungkan jempol.
            Acara sudah selesai. Ketika di parkiran, aku melihat Kak Tritan di atas motornya. Aku tersenyum dan memandang wajahnya dari jauh, hanya sebentar. Dia juga tersenyum. Langsung kutundukkan muka, menjaga pandangan, jangan sampai mata ini terlalu liar. Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat Kak Tritan.
            *****
            Dua tahun sudah berlalu sejak kepergian Kak Tritan. Dan aku sudah mulai memasuki bangku kuliah. Aku kuliah di Universitas Kedokteran Unpad, dan Rhaka juga satu kampus denganku, dia di Fakultas Farmasi. Bagiku Kak Tritan bukan lagi sebagai orang yang aku sukai, tetapi sebagai sosok yang telah disiapkan Tuhan untukku suatu hari nanti. Dengan berpikir seperti itu, aku bisa konsentrasi dengan apa yang harus kulakukan. Entah kenapa aku bisa berpikiran seyakin itu.

Suatu hari, Rhaka mengajakku bertemu di suatu mall. Tak biasanya dia mengajakku ke mall dengan sebuah ajakan yang direncanakan. Biasanya secara spontan saja.
Sejak dua bulan lalu, kami jarang bertemu di kampus. Salah satu alasannya karena kami sama-sama  sibuk, dan alasan lain karena aku lebih sering berada di halaman kampus, sementara Rhaka lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan.
Aku menemui  Rhaka di tempat yang ditentukannya. Aku bingung begitu melihat properti ruangan itu didesain dengan foto-foto ketika kami masih kecil. Dan diiringi lagu yang paling kami sukai di waktu kecil, Ambilkan Bulan.

“Rhaka, ini kenapa sih?” tanyaku.
“Hei, Keira. Ini Ra, aku yang mendesain ruangan ini. Keren, kan?” ujarnya meminta pendapat.
“Keren!” aku mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mata.
“Hahaha. Ayo silakan duduk, Ra.” Rhaka mempersilahkan aku duduk di sebuah kursi yang nyaman. Sebenarnya semua properti di ruang itu membuat aku nyaman. Ada apa ini?, pikirku.
Rhaka mendekatiku. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil. Aku mengambil kotak itu, dan aku begitu terkejut ketika melihat isi kotak itu adalah cincin. 
“Ini apa” tanyaku gugup.
“Fuhh.. Keira, kita sudah berteman sejak kecil. Awalnya kita teman biasa, kemudian menjadi sahabat. Sampai saat aku mengenal cinta, kita juga masih bersahabat. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku benar-benar sayang kamu. Rasa ini berawal dari kebersamaan kita, karena aku ingin selalu melindungi kamu. Kamu mau jadi pacarku?”

Aku tergagap. Aku tak menyangka Rhaka akan berbuat seperti ini. Air mata mulai menetes dari sudut mataku. Entah ini air mata bahagia, haru, sedih, atau apalah.
Suasana hening sejenak. Lama kelamaan kepalaku pusing karena menahan tangis.
“Aku nggak tau, Rhaka” jawabku memecah keheningan.
“Apa kamu masih mencintai Tritan? Kamu nggak akan bisa menerima orang lain kalau kamu masih menutup hati, yang hanya untuk orang yang telah pergi.”
“Kak Tritan tidak pergi,” jawabku lirih, dan menunduk.
“Sampai kapan kamu begini? Move on dong, Ra.” seru Rhaka.
“Ini bukan karena Kak Tritan,” jawabku lagi.
“Lantas, karena apa?”
Aku mengangkat muka.  Suasana tegang, hanya terdengar helaan nafas silih berganti.

“Kalau kamu jadi pacar aku, akan ada kata ‘mantan’. Tapi kalau kamu jadi sahabat aku, nggak ada kata ‘mantan’. Rhaka, aku menyanyangi kamu sudah lama, dan sayang sebagai sahabat. Melindungi, menemani, menghibur, itu sudah kita lakukan. Kita tak perlu melakukannya lagi dalam ikatan pacaran. Aku takut kalau putus, kita bisa musuhan.” jelasku.
“Kalau cinta sejati, tak akan putus, kan?” tanya Rhaka, membuat aku tersentak.
“Entahlah. Aku tidak mau ngomong tentang ini lagi. Aku sayang kamu, kamu sayang aku. Kita sahabat. Udah, itu aja,” kataku.
“Apa kamu nggak bisa menyayangi aku lebih dari sahabat?”
“Sayang kepada sahabat adalah sayang tingkat ketiga setelah sayang kepada Allah dan orangtua. Jadi, jangan buat aku mengubah itu, Rhaka.” jelasku.
“Baiklah Keira kalau begitu. Aku akan pergi, aturlah hidupmu sendiri. Kejarlah Pangeran Tritan itu.” Rhaka pergi dengan marah. Sepertinya ia sangat kecewa.




Aku menangis. Hatiku sakit. Harusnya Rhaka mengerti maksudku. Aku sama sekali  tak ingin menyakitinya. Aku telah menyayangi dia sejak kecil, bahkan rasa sayang ini tak akan pernah hilang. Tetap ada bekasnya di hati  walau dia telah pergi sekalipun.
Tiba-tiba aku panik. Aku ingat kebiasaan Rhaka kalau sedang marah. Ia akan mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan. Kemudian dia akan berteriak keras di hutan kecil di belakang komplek,  tempat favorit kami ketika masih kecil.
Aku bergegas keluar mall untuk menyusul Rhaka. Perasaanku tidak enak,  aku sangat mengkhawatirkan Rhaka. Semoga tidak terjadi apa-apa, batinku.
Tepat ketika aku baru duduk di taksi, Mama Rhaka meneleponku. Ia berbicara sambil menangis. Aku panik dan bingung. Ada apa ini?
“Keira, kamu ke rumah sakit sekarang ya?”
“Ada apa, Tante?”
“Rhaka kecelakaan, dia luka parah. Dan sekarang dia di rumah sakit. Kamu langsung ke rumah sakit tempat Tante bekerja, ya.” pinta Mama Rhaka.
“Baik, Tante. Keira segera kesana.”

Aku langsung menuju Rumah Sakit. Di rumah sakit, akhirnya aku mengetahui kalau keadaan Rhaka sangat parah. Kepalanya mengalami benturan keras, tulang rusuk dan kakinya patah. Tetapi Rhaka adalah orang yang kuat. Aku yakin dia bisa melewatinya, pikirku.  Untunglah, tak lama kemudian kami boleh masuk kamar untuk menjenguk Rhaka.
Aku, Mama Rhaka, dan Papa Rhaka masuk ke ruang UGD. Keadaannya sangat lemah. Keadaan Rhaka sadar, ia bisa menggerakkan sedikit tangannya.
“Ma, Pa. Bisa Rhaka bicara berdua aja sama Keira?”
“Baiklah. Kamu baik-baik ya, Nak.”
Mama dan Papa Rhaka keluar dan meninggalkan aku bersama Rhaka.
“Rhaka, maafin aku. Ini gara-gara aku, makanya kamu jadi begini sekarang. Aku nggak bermaksud menyakiti hati kamu, Kha.” kataku.

“Oh, ya sudahlah. Nggak apa-apa, Keira. Sekarang aku mengerti bagaimana kamu menyayangi aku sebagai sahabat.”
Nafas Rhaka mulai tidak teratur. Tetapi ia seperti masih ingin melanjutkan pembicaraan.
“Keira, aku benar-benar sahabat kamu, kan?” tanya Rhaka.
“Ya, kamu sahabat aku. Sekarang dan selamanya” jawabku.
“Kamu bisa penuhin permintaan aku. Mungkin ini terakhir kali, dan mungkin ini juga puncak dari kisah percintaan kamu.”
“Maksud kamu apa?” tanyaku heran.
“Tritan ada disini, di Bandung, dan dua jam lagi dia akan berangkat ke Svalbard, Austria. Aku ingin kamu temui dia dan katakan kalau kamu suka dia.” jelas Rhaka.
“Kamu tahu darimana kalau Kak Tritan di Bandung?” tanyaku
“Dia yang menemuiku di mall, sebelum kita bertemu. Dia bilang dia harus melanjutkan studinya di Svalbard. Dan dia juga menginginkan kita mengantarnya ke bandara.”
“Kamu kesana ya, temui Tritan.”
“Tidak, Rhaka. Aku tidak peduli untuk saat ini. Aku ingin bersama kamu. Kamu harus sembuh.” ucapku lirih.

“Keira, kamu harus kejar Tritan. Aku tahu kamu mengkhawatirkan aku. Tapi Tritan lebih penting untuk sekarang ini.”
“Kamu apaan sih? Aku pengen nemenin kamu disini.” kataku sedikit sewot.
“Keira dengar, aku tahu kamu cemas dengan keadaan aku. Tapi, aku bahagia kamu sudah peduli sama aku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Temuilah Tritan sekarang. Aku cuma minta kamu tetap menyayangiku untuk seorang sahabat, jangan ubah posisi aku sebagai sahabat kamu, ya.”

Aku terdiam.
Rhaka melanjutkan “Karena sahabat itu akan selalu hidup di hati, sekalipun ia telah pergi.”
Aku bertekad untuk tetap disamping Rhaka. Aku tidak ingin menyusul Tritan sekarang.
“Aku nggak ngerti. Kamu pasti bisa sembuh, Rhaka” aku sedikit menyentak. Air mata membasahi pipi, mukaku sembab. Aku benar-benar mengkhawatirkan Rhaka.
“Aku rasa enggak” ucap Rhaka lirih.
“Kei, kalau aku pergi nanti, kamu kejar Tritan ya. Kamu pasti bisa dapatin dia. Kamu harus percaya.” Rhaka tersenyum, tetapi  matanya basah.
“Rhaka, jangan tinggalin aku. Aku butuh kamu. Kita selalu bersama dari kecil, dan kamu nggak boleh membiarkan aku sendirian disini tanpa kamu, Rhaka. ” isakku.

Mendadak, Rhaka sesak nafas. Aku panik, dan memanggil dokter. Rhaka sempat mengucapkan bahwa dia menyayangi orangtua dan keluarganya. Semenit kemudian, Rhaka menghembuskan nafas terakhir. Kami berteriak histeris dan menangis di samping Rhaka. Ini salahku, andai aku tak menolak Rhaka, takkan begini jadinya. Dan sekarang, aku sangat kehilangan Rhaka, sahabatku.
*****




Dua minggu setelah kepergian Rhaka..
Kepergian Rhaka menyisakan luka yang sangat dalam. Aku seperti kehilangan anggota tubuhku. Aku kesepian, biasanya setiap aku melakukan kegiatan selalu ada Rhaka di sampingku.
Kak Tritan sudah di Svalbard. Rasanya aku mati rasa, entah apa yang bisa kurasakan sekarang. Sedih yang double, aku rasa begitu. Ditinggal Rhaka, dan ditinggal juga oleh Kak Tritan.
Aku down selama dua minggu ini. Aku lebih sering menyendiri di kamar daripada berkumpul bersama keluarga di Ruang santai. Padahal telah berkali-kali Ibuku menghibur, dan menasihati agar aku mengikhlaskan Rhaka.
Sebenarnya aku sudah mengikhlaskan Rhaka, tetapi aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Aku dihantui dengan perasaan bersalah. Ya Allah, maafkan hamba.
*****

Sekarang aku menjadi seorang Dokter ahli Farmakologi. Sebenarnya aku ingin menjadi spesialis kulit. Tetapi, entah kenapa aku merasa cocok di bidang Farmasi. Mungkin karena Rhaka menyukai bidang Farmasi, pikirku.
Angin dingin bertiup pelan, tetapi cukup menembus palto biru muda yang ku kenakan. Suasana musim dingin di Kanada membuatku menggigil. Aku harus melanjutkan perjalanan, menuju sebuah Seminar tentang kesehatan. Dan salah satu pembicara di seminar itu adalah aku.

Orang-orang Kanada menyambutku dengan ramah. Acara seminar berlangsung dengan sukses. Di akhir acara, ada sesi foto bersama. Seketika aku terperanjat. Sosok orang yang sudah lama tak kulihat, ternyata bisa kutemui disini. Sosok itu sangat aku rindukan. Sekarang dia telah menjadi seorang wartawan yang hebat. Wartawan yang bisa keliling dunia. Ya Allah, itu Kak Tritan.

Dia mendekatiku dan tersenyum. Senyumnya begitu tulus, membuat hatiku meleleh. Aku membalas senyumnya, dan menyapa
“Apa kabar, Kak Tritan?”
“Alhamdulillah, baik. Selamat ya Keira, kamu sudah sukses. Menjadi seorang dokter, dan  sekarang menjadi pembicara di sebuah seminar di negeri orang”
“Alhamdulillah.” Aku tersipu malu. “kak Tritan juga seorang wartawan hebat. Bisa keliling dunia ya haha” kataku.
“Hahaha, Alhamdulillah.”

Kami mengobrol dan bercanda tawa. Alangkah nikmatnya menghirup susu cokelat hangat bersama pancake strawberry di musim dingin. Ditemani dengan orang yang ku rindukan. Dihembus angin-angin usil.

Setelah lama mengobrol, kami berfoto di bawah pohon yang penuh salju. Menikmati musim dingin di Kanada. Benar-benar suasana yang mengagumkan.  

Tiba-tiba Kak Tritan mengatakan,
“Keira, hm...aku mau ngomong. 
"Hm?" aku menghadapkan wajahku ke arah Kak Tritan.
"Can I be yours?”

Aku terhenyak. Sepertinya Kak Tritan tahu kalau aku terkejut, dan badanku kaku seketika seperti beku.
“Kamu tahu? Aku mengagumi kamu sejak di SMA, dan sampai sekarang. Kamu orang yang spesial dan luar biasa. Kamu juga yang membuat aku tetap semangat untuk menjadi seorang wartawan seperti sekarang. Kamu menjadi seorag motivator dalam hidupku.  Bisakah kamu menjadi milikku, Keira?” tanyanya lagi.
Aku terdiam. Apa yang harus kujawab? Tak pernah terbayang olehku kejadian seperti ini. Karena selama ini aku hanya menyerahkan urusan cinta kepada Allah, biarlah Ia yang mengaturnya. Sungguh, alangkah indah rencana Allah.
“Ehmm, okay. ” Aku menjawab dengan gugup.
 “Hh, you’re mine, and I’m yours now, haha” ucapku pelan, namun jelas terdengar. Aku sangat bahagia, tak pernah terpikir olehku bahwa kami bisa bersatu. Bersatu di tempat yang sangat spesial.
Perasaanku yang kusembunyikan selama ini telah menemukan belahan yang lain. Dan membentuk love yang sempurna. Subhanallah! Alangkah apik Allah merencanakan semuanya.
Aku yakin, pasti Rhaka tersenyum melihatku sekarang. Senyumannya menembus langit 7 tingkatan.
**********





Tidak ada komentar:

Posting Komentar