Antara Tritan, Aku, dan
Rhaka
Oleh : Amrina Rosyada
Aku berlari secepat mungkin memasuki sekolah.
Hari ini aku terlambat bangun, sehingga aku terburu-buru pergi ke sekolah.
Semoga tidak terlambat, batinku. Pelajaran pertama hari ini adalah Matematika, dan
aku tidak boleh terlambat. Pr... Aku mencoba mengingat-ingat sambil terus
berlari. Ya, Alhamdulillah aku sudah mengerjakannya dua hari yang lalu bersama
Rhaka.
Hap, aku berdiri tepat di pintu
kelas. Aku tidak terlambat. Dengan tersenyum puas, aku berjalan menuju tempat
dudukku. Riana, teman sebangkuku hanya menggeleng-geleng melihat aku dengan
napas yang masih tersengal- sengal.
“Aku terlambat?” tanyaku.
“Tidak, bel masuk 5 menit lagi.” jawab
Rhaka yang tiba-tiba muncul di depanku.
“ Eh Rhaka, haha. Alhamduillah, lega
banget, soalnya tadi pergi dari rumah jam 6.20” seruku.
“ Keira, Keira. Masih kelas sepuluh kok udah
berani terlambat.” seru Rhaka.
Aku memanyunkan bibir.
Aku duduk di sebelah Riana. Riana
adalah temanku yang berasal dari sekolah yang berbeda denganku. Riana anak yang
baik, sabar, dan pintar. Aku beruntung bisa duduk sebangku dengannya, karena
menurutku mendapat teman sebangku yang pintar bisa membuat kita juga pintar.
Bel berbunyi...
Guru matematika memasuki kelas. Ia
mengajar selama 2 jam pelajaran, kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Fisika.
Pagi yang penuh dengan angka, pikirku.
Ketika istirahat, aku bersama Rhaka
dan Riana pergi ke kantin. Saat di
perjalanan menuju kantin, kami bertemu dengan Kak Tritan, kakak kelas XII. Kami
berjalan menunduk di depannya, dan melanjutkan perjalanan ke kantin. Di kantin,
kami makan bersama sambil mengobrol. Tepat saat bel masuk berbunyi, kami sudah
berada di depan kelas.
Saat pulang sekolah, aku pulang
bersama Rhaka. Rhaka adalah sahabat sekaligus tetanggaku. Rumah kami
bersebelahan, dan terletak di komplek yang sama. Sejak kecil, aku sudah
berteman dengannya, dan sekolah kami selalu sama. Karena itu juga, kami selalu
berangkat dan pulang sekolah bersama. Tetapi sesekali kami tidak berangkat
bersama, seperti tadi pagi.
Aku ingat ketika kami masih kecil. Apabila
kami bermusuhan, lucu sekali. Kami pulang di jalan yang sama, tetapi aku di
ruas jalan kanan, sedangkan dia di ruas jalan kiri. Kami saling lirik-lirikan
dengan muka yang dibuat-buat seram. Aku juga ingat ketika kami akan pergi
jogging minggu pagi. Kalau aku yang bangun lebih dulu, aku akan melempar
kerikil kecil ke jendela kamarnya untuk membangunkannya , begitu juga
sebaliknya. Hahaha, aku menyukai kebersamaan seperti itu.
*****
Malam ini, setelah selesai mengerjakan pr
untuk besok, aku duduk di teras kamar. Sebenarnya, diam-diam aku menyukai Kak
Tritan. Entah sejak pertama kali aku masuk sekolah, aku sudah meyukainya. Waktu
itu gara-gara aku jatuh di depan kelasnya. Aku terjatuh karena kakiku terkilir,
dan hanya dia yang menolong aku, kemudian dia membawaku ke UKS sampai kakiku
sembuh.Tapi, aku belum sempat mengucapkan terima kasih sampai dia pergi.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Sms masuk dari
Rhaka
“Ra, bantuin bikin pr dong. Pr kimiaku belum
selesai nih, ayolah kan kamu jago kimia ;)”
Aku membalas “Ah bisa aja kamu. Yaudah cepetan
ke rumah, nanti aku tunggu di depan pagar”.
“Oke, thankyou Ra”
Aku menuruni tangga dengan cepat. Ketika
sampai di depan pagar, Rhaka sudah menunggu di luar. Cepet banget, pikirku.
Akhirnya kami belajar bersama, tetapi bukan sepenuhnya belajar. Sesekali
diselingi dengan canda dan tawa. Dan sekarang sudah pukul 22.00 WIB, Rhaka belum
juga pulang, sedangkan pr Kimia sudah selesai.
Rhaka sudah tahu kalau aku menyukai Kak
Tritan, karena dia adalah tempat pertama kalau aku mau curhat. Begitu juga
sebaliknya, kalau mau curhat dia selalu cerita denganku. Dan sekarang kami
sedang membicarakan Kak Tritan, tidak menyadari kalau hari sudah larut.
“Rhaka, kamu tau kan kalo aku suka sama Kak
Tritan?” tanyaku.
“Iya. Trus kenapa?” Rhaka berbalik nanya.
“ Menurut kamu mungkin nggak ya, Kak Tritan
suka juga?”
“Mungkin, kalo..” jawabnya malas, sambil
bermain handphone.
“Kalo apa?” sentakku
“Kalo kamu pintar, baik, merubah penampilan,
dan dikenal banyak orang dengan prestasi. Tapi jangan sampai terlihat mencari
perhatian.” ujarnya.
“Emangnya sekarang aku gimana?” tanyaku heran.
“Kamu cantik, pintar, baik sih, ya kamu harus
mengubah penampilan sedikit saja. Kamu harus menjaga sikap di depan
orang-orang, terutama kakak kelas. Tapi menurut aku nggak usah pikirin pacaran
dulu deh, kita kan masih kelas sepuluh harusnya pikirin prestasi sebanyak
mungkin. Lagian masih bocah haha” candanya.
Aku berpikir. “Iya, tapi aku nanya begitu
bukannya mikirin pacaran. Hmm, jadi ide
kamu begitu, oke nanti aku pikirin lagi. Makasih ya” jawabku.
“Sip. Aku pulang ya.”pamit Rhaka. Setelah
berpamitan dengan orangtuaku, Rhaka pulang ke rumahnya.
“Hati-hati” seruku di teras depan rumah.
“Rumah kita bersebelahan kok. Ini udah sampe
haha,” teriaknya dari halaman depan rumahnya.
Kami tertawa bersama.
*****
Waktu berlalu begitu cepat. Aku
sudah memenuhi usul Rhaka. Sekarang aku menjadi juara kelas dan sering mewakili
sekolah dalam lomba Speech Contest.
Namaku juga cukup dikenal di sekolah.
Mengenai Kak Tritan, aku masih
menyukainya dalam diam. Ya, memang seperti itulah. Setiap aku menyukai
seseorang, aku selalu diam seakan-akan tak ada tanda-tanda yang aku tunjukkan.
Padahal aku selalu memperhatikannya.
Tetapi semakin cepatnya waktu
berlalu, aku mulai takut dengan ‘sesuatu’ yang sejak dulu selalu kuusahakan
untuk dibuang jauh-jauh. Perpisahan. Ya, perpisahan karena kepergian Kak Tritan
dan teman-temannya. Mereka kelas XII, dan mereka harus melanjutkan ke jenjang
Perguruan Tinggi.
Apabila bayangan itu terlintas di
benakku, aku selalu berusaha untuk melupakannya. Tetapi, sekalipun aku amnesia,
hal itu tetap akan terjadi. Perpisahan itu tetap akan terjadi. Aku mendongakkan
kepala menatap langit.
Di taman sekolah, aku duduk
sambil memainkan pena. Aku sedang
berpikir untuk menyelesaikan karya ilmiahku. Tetapi pikiranku buntu. Mata ini
hanya memandang kosong setiap sudut taman. Tiba-tiba seseorangmendekatiku.
“ Kamu Keira, kan?”
“Iya,” jawabku sambil menoleh.
Astaga! Kak Tritan, kenapa dia disini,
kenapa dia mencariku? Aku bahagia sekaligus gugup. Sangat gugup.
“Ada apa kak?” tanyaku memecah
keheningan
“Tadi ada teman kamu yang namanya
Rhaka. Dia titip buku ini, katanya untuk karya ilmiah kamu” Kak Tritan
menyodorkan sebuah buku.
“Makasih kak.” Aku mengambil buku
itu dengan gemetar dan tersenyum yang seadanya.
Kak Tritan masih duduk. Akhirnya aku
mengumpulkan keberanian. Aku harus bertanya tentang ini. Sekarang.
“Kakak mau lanjut kuliah dimana?”
tanyaku.
“Rencananya mau lanjut ke Hubungan
Internasional, Universitas Indonesia” jawabnya mantap.
“Wah, hebat itu kak.”sambungku
“Ya begitulah haha. Kakak sih
pengennya setelah tamat nanti bisa jadi wartawan, jadi bisa keliling
dunia.”ujarnya
“Amin kak. Semoga terkabul haha”
seruku.
“Amin amin. Ya sudah, lanjutin karya
ilmiahnya!” Kak Tritan tersenyum dan berdiri hendak pergi.
“Iya, makasih kak” kataku setengah
berteriak karena Kak Tritan telah berjalan. Ya ampun, aku seneng banget. Mimpi
apa aku semalam Ya Allah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Thankyou Rhaka, kau telah titipkan buku ini ke Kak Tritan.
Sore ini, aku sedang di rumah
Aliesya. Kami kerja kelompok bersama. Setelah tugas selesai, kami semua pulang
ke rumah masing-masing. Aku pulang bersama Rhaka menggunakan motor Rhaka. Di
sepanjang perjalanan, aku bercerita tentang Kak Tritan kemarin. Aku bercerita
panjang lebar.
“Bisa nggak Ra, berhenti dulu
ngomongin Tritan?” ucapan Rhaka agak menyentak.
Aku terperangah. Rhaka tak pernah
seperti ini sebelumnya. Aku terkejut, dan takut kalau sampai Rhaka marah
kepadaku. Aku terdiam tanpa kata sampai motornya berhenti di depan rumahku. Aku
segera turun dan mengucapkan terima kasih sambil menunduk dan berlari. Air
mataku membasahi muka, tetapi sebisa mungkin aku tutupi dari Rhaka.
Rhaka bingung melihat tingkahku,
tetapi dia langsung melanjutkan ke rumahnya dan memarkirkan motor.
*****
Malam ini perasaanku campur aduk.
Takut, sedih, dan rasa bersalah menghantuiku. Aku takut sekali Rhaka marah.
Selama ini Rhaka paling bisa menjaga perasaanku, dia hampir nggak pernah
membuat aku marah. Tapi kejadian sore tadi benar-benar membuat aku merasa
bersalah. Aku harus meminta maaf dengan Rhaka, pikirku.
Pagi-pagi sekali, aku meletakkan cokelat kecil
di depan pintu rumah Rhaka sebagai permintaan maaf. Aku berjingkat-jingkat agar
langkahku tak terdengar.
“Mau kemana kamu?”
Aku terkejut. Duh, ketahuan,
pikirku. Aku hendak berlari, tetapi tasku ditahan. Akhirnya aku memutuskan
untuk menoleh. Ada Rhaka.
“Maaf Rhaka, aku cuma mau minta
maaf. Kamu pasti marah kan sama aku gara-gara kemarin?” tanyaku takut-takut.
“ Kalo kemarin emang iya, tapi
semalem nggak lagi kok. Malah aku yang mau minta maaf karena udah bikin kamu
takut dan sedih. Kamu nangis kan kemarin?” selidik Rhaka.
Aku tergagap. “Ya ampun, harusnya
aku yang minta maaf, Kamu nggak salah kok.”kataku tersenyum.
“Oke deh, aku maafin. Kita baikan
ya” Rhaka menyodorkan jari telunjuknya.
Aku menyambut jari telunjuknya dan
menyatukan jari telunjuk kami. Kami tersenyum dan tertawa bersama.
*****
Bulan depan, akan ada acara perpisahan.
Sekarang aku harus benar-benar mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Kak
Tritan, biarlah dia meraih impiannya disana, walaupun dia tidak tahu bahwa ada
orang yang selalu merindukannya disini. Aku, Keira.
Aku membuka diary dan menulis :
“Dear Diary,
Aku benci dengan
perpisahan. Benci banget. Aku nggak mau mengenal yang namanya sakit hati,
tetapi aku sudah terlanjur jatuh cinta. Aku tahu, berani jatuh cinta sama saja dengan
berani sakit hati. Tetapi sekarang, bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini, dari ruang yang bernama jatuh cinta dan
menghindari sakit hati. Aku tak ingin adanya perpisahan. Sungguh, aku
menyayangi dia, dan aku belum siap untuk berpisah darinya. Aku ingin dia tetap
disini walaupun dia bukan milikku. Aku mencintainya sebagai cinta pertama,
tetapi disaat aku mencintainya juga, aku berpikir bahwa dia adalah cinta
terakhir.”
Aku menutup
diaryku, dan menghapus air mata yang mengalir di pipi. Ya Allah, tabahkanlah
aku.
*****
Perpisahan kelas
XII dilaksanakan hari ini. Dan aku diminta untuk datang ke acara itu, karena
aku akan menjadi salah satu pengisi acara. Rasanya tak sanggup untuk hadir
disana. Sebelum acara dimulai, aku membisikkan sesuatu dengan temanku yang
menjadi seksi dokumentasi.
Di ujung acara,
ada sesi foto-foto bersama. Kakak kelas berfoto bersama dalam suasana haru.
Isak tangis terdengar di sana-sini. Aku terbawa suasana, air mataku membasahi
pipi, terharu. Sebenarnya tangisan ini bukan hanya semata terbawa suasana,
tetapi tangisan dari hatiku, melepas Kak Tritan. Apakah ini pertemuan
terakhirku dengan Kak Tritan? Atau bukan yang terakhir? Ya Allah, semoga Engkau
menyatukan kami, aku percaya rencanaMu pasti indah, dan tak seorang pun mengetahuinya.
Amin.
Aku mendekati Kak
Tritan. “Selamat ya kak, sekarang kakak bisa melanjutkan ke UI. Sudah lulus kan
di HI UI?” tanyaku.
“Alhamdulillah,
iya sudah lulus. Makasih ya. Kamu juga harus sukses, kamu kan pintar hehe”
candanya.
“Haha, bisa aja.
Iya, insya Allah kak. Sekali lagi, selamat ya kak.” Aku tersenyum, tetapi air
mataku mengalir. Ingin rasanya aku mengucapkan
beberapa kalimat lagi sebelum ia pergi. Tapi kalimat itu tidak terucap,
lidahku kelu.
Kak Tritan
membalas senyumku. Tetapi senyum kali ini sulit untuk diartikan. Senyum yang
tulus, tapi terselip pandangan haru dan rindu yang membuat hatiku seperti
tertusuk duri berbisa. Nyeri..
Tiba-tiba
datang seorang temanku yang memegang kamera. Dia meminta Kak Tritan untuk tetap
berdiri disana dan berfoto denganku. Untunglah Kak Tritan tidak keberatan.
Akhirnya dia memotret aku dan Kak Tritan. Aku mengucapkan terima kasih kepada
Kak Tritan, kemudian melirik temanku, dan mengacungkan jempol.
Acara
sudah selesai. Ketika di parkiran, aku melihat Kak Tritan di atas motornya. Aku
tersenyum dan memandang wajahnya dari jauh, hanya sebentar. Dia juga tersenyum.
Langsung kutundukkan muka, menjaga pandangan, jangan sampai mata ini terlalu
liar. Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat Kak Tritan.
*****
Dua
tahun sudah berlalu sejak kepergian Kak Tritan. Dan aku sudah mulai memasuki
bangku kuliah. Aku kuliah di Universitas Kedokteran Unpad, dan Rhaka juga satu
kampus denganku, dia di Fakultas Farmasi. Bagiku Kak Tritan bukan lagi sebagai
orang yang aku sukai, tetapi sebagai sosok yang telah disiapkan Tuhan untukku
suatu hari nanti. Dengan berpikir seperti itu, aku bisa konsentrasi dengan apa
yang harus kulakukan. Entah kenapa aku bisa berpikiran seyakin itu.
Suatu hari, Rhaka
mengajakku bertemu di suatu mall. Tak biasanya dia mengajakku ke mall dengan
sebuah ajakan yang direncanakan. Biasanya secara spontan saja.
Sejak dua bulan
lalu, kami jarang bertemu di kampus. Salah satu alasannya karena kami
sama-sama sibuk, dan alasan lain karena
aku lebih sering berada di halaman kampus, sementara Rhaka lebih sering
menghabiskan waktu di perpustakaan.
Aku menemui Rhaka di tempat yang ditentukannya. Aku
bingung begitu melihat properti ruangan itu didesain dengan foto-foto ketika
kami masih kecil. Dan diiringi lagu yang paling kami sukai di waktu kecil,
Ambilkan Bulan.
“Rhaka, ini
kenapa sih?” tanyaku.
“Hei, Keira. Ini
Ra, aku yang mendesain ruangan ini. Keren, kan?” ujarnya meminta pendapat.
“Keren!” aku
mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mata.
“Hahaha. Ayo silakan
duduk, Ra.” Rhaka mempersilahkan aku duduk di sebuah kursi yang nyaman.
Sebenarnya semua properti di ruang itu membuat aku nyaman. Ada apa ini?,
pikirku.
Rhaka
mendekatiku. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil. Aku mengambil kotak itu, dan
aku begitu terkejut ketika melihat isi kotak itu adalah cincin.
“Ini apa” tanyaku
gugup.
“Fuhh.. Keira,
kita sudah berteman sejak kecil. Awalnya kita teman biasa, kemudian menjadi
sahabat. Sampai saat aku mengenal cinta, kita juga masih bersahabat. Aku tidak
bisa menyembunyikan kalau aku benar-benar sayang kamu. Rasa ini berawal dari
kebersamaan kita, karena aku ingin selalu melindungi kamu. Kamu mau jadi
pacarku?”
Aku tergagap. Aku
tak menyangka Rhaka akan berbuat seperti ini. Air mata mulai menetes dari sudut
mataku. Entah ini air mata bahagia, haru, sedih, atau apalah.
Suasana hening
sejenak. Lama kelamaan kepalaku pusing karena menahan tangis.
“Aku nggak tau,
Rhaka” jawabku memecah keheningan.
“Apa kamu masih
mencintai Tritan? Kamu nggak akan bisa menerima orang lain kalau kamu masih
menutup hati, yang hanya untuk orang yang telah pergi.”
“Kak Tritan tidak
pergi,” jawabku lirih, dan menunduk.
“Sampai kapan
kamu begini? Move on dong, Ra.” seru Rhaka.
“Ini bukan karena
Kak Tritan,” jawabku lagi.
“Lantas, karena
apa?”
Aku mengangkat
muka. Suasana tegang, hanya terdengar
helaan nafas silih berganti.
“Kalau kamu jadi
pacar aku, akan ada kata ‘mantan’. Tapi kalau kamu jadi sahabat aku, nggak ada
kata ‘mantan’. Rhaka, aku menyanyangi kamu sudah lama, dan sayang sebagai
sahabat. Melindungi, menemani, menghibur, itu sudah kita lakukan. Kita tak
perlu melakukannya lagi dalam ikatan pacaran. Aku takut kalau putus, kita bisa
musuhan.” jelasku.
“Kalau cinta
sejati, tak akan putus, kan?” tanya Rhaka, membuat aku tersentak.
“Entahlah. Aku
tidak mau ngomong tentang ini lagi. Aku sayang kamu, kamu sayang aku. Kita
sahabat. Udah, itu aja,” kataku.
“Apa kamu nggak
bisa menyayangi aku lebih dari sahabat?”
“Sayang kepada
sahabat adalah sayang tingkat ketiga setelah sayang kepada Allah dan orangtua.
Jadi, jangan buat aku mengubah itu, Rhaka.” jelasku.
“Baiklah Keira
kalau begitu. Aku akan pergi, aturlah hidupmu sendiri. Kejarlah Pangeran Tritan
itu.” Rhaka pergi dengan marah. Sepertinya ia sangat kecewa.
Aku menangis.
Hatiku sakit. Harusnya Rhaka mengerti maksudku. Aku sama sekali tak ingin menyakitinya. Aku telah menyayangi
dia sejak kecil, bahkan rasa sayang ini tak akan pernah hilang. Tetap ada
bekasnya di hati walau dia telah pergi
sekalipun.
Tiba-tiba aku
panik. Aku ingat kebiasaan Rhaka kalau sedang marah. Ia akan mengemudikan
motornya dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan. Kemudian dia akan berteriak
keras di hutan kecil di belakang komplek,
tempat favorit kami ketika masih kecil.
Aku bergegas
keluar mall untuk menyusul Rhaka. Perasaanku tidak enak, aku sangat mengkhawatirkan Rhaka. Semoga
tidak terjadi apa-apa, batinku.
Tepat ketika aku
baru duduk di taksi, Mama Rhaka meneleponku. Ia berbicara sambil menangis. Aku
panik dan bingung. Ada apa ini?
“Keira, kamu ke
rumah sakit sekarang ya?”
“Ada apa, Tante?”
“Rhaka
kecelakaan, dia luka parah. Dan sekarang dia di rumah sakit. Kamu langsung ke
rumah sakit tempat Tante bekerja, ya.” pinta Mama Rhaka.
“Baik, Tante.
Keira segera kesana.”
Aku langsung
menuju Rumah Sakit. Di rumah sakit, akhirnya aku mengetahui kalau keadaan Rhaka
sangat parah. Kepalanya mengalami benturan keras, tulang rusuk dan kakinya
patah. Tetapi Rhaka adalah orang yang kuat. Aku yakin dia bisa melewatinya,
pikirku. Untunglah, tak lama kemudian
kami boleh masuk kamar untuk menjenguk Rhaka.
Aku, Mama Rhaka,
dan Papa Rhaka masuk ke ruang UGD. Keadaannya sangat lemah. Keadaan Rhaka sadar,
ia bisa menggerakkan sedikit tangannya.
“Ma, Pa. Bisa
Rhaka bicara berdua aja sama Keira?”
“Baiklah. Kamu
baik-baik ya, Nak.”
Mama dan Papa Rhaka
keluar dan meninggalkan aku bersama Rhaka.
“Rhaka, maafin
aku. Ini gara-gara aku, makanya kamu jadi begini sekarang. Aku nggak bermaksud
menyakiti hati kamu, Kha.” kataku.
“Oh, ya sudahlah.
Nggak apa-apa, Keira. Sekarang aku mengerti bagaimana kamu menyayangi aku
sebagai sahabat.”
Nafas Rhaka mulai
tidak teratur. Tetapi ia seperti masih ingin melanjutkan pembicaraan.
“Keira, aku benar-benar
sahabat kamu, kan?” tanya Rhaka.
“Ya, kamu sahabat
aku. Sekarang dan selamanya” jawabku.
“Kamu bisa
penuhin permintaan aku. Mungkin ini terakhir kali, dan mungkin ini juga puncak
dari kisah percintaan kamu.”
“Maksud kamu
apa?” tanyaku heran.
“Tritan ada disini,
di Bandung, dan dua jam lagi dia akan berangkat ke Svalbard, Austria. Aku ingin
kamu temui dia dan katakan kalau kamu suka dia.” jelas Rhaka.
“Kamu tahu
darimana kalau Kak Tritan di Bandung?” tanyaku
“Dia yang
menemuiku di mall, sebelum kita bertemu. Dia bilang dia harus melanjutkan
studinya di Svalbard. Dan dia juga menginginkan kita mengantarnya ke bandara.”
“Kamu kesana ya,
temui Tritan.”
“Tidak, Rhaka. Aku
tidak peduli untuk saat ini. Aku ingin bersama kamu. Kamu harus sembuh.” ucapku
lirih.
“Keira, kamu
harus kejar Tritan. Aku tahu kamu mengkhawatirkan aku. Tapi Tritan lebih
penting untuk sekarang ini.”
“Kamu apaan sih?
Aku pengen nemenin kamu disini.” kataku sedikit sewot.
“Keira dengar,
aku tahu kamu cemas dengan keadaan aku. Tapi, aku bahagia kamu sudah peduli
sama aku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Temuilah Tritan sekarang. Aku
cuma minta kamu tetap menyayangiku untuk seorang sahabat, jangan ubah posisi
aku sebagai sahabat kamu, ya.”
Aku terdiam.
Rhaka melanjutkan
“Karena sahabat itu akan selalu hidup di hati, sekalipun ia telah pergi.”
Aku bertekad
untuk tetap disamping Rhaka. Aku tidak ingin menyusul Tritan sekarang.
“Aku nggak
ngerti. Kamu pasti bisa sembuh, Rhaka” aku sedikit menyentak. Air mata
membasahi pipi, mukaku sembab. Aku benar-benar mengkhawatirkan Rhaka.
“Aku rasa enggak”
ucap Rhaka lirih.
“Kei, kalau aku
pergi nanti, kamu kejar Tritan ya. Kamu pasti bisa dapatin dia. Kamu harus
percaya.” Rhaka tersenyum, tetapi
matanya basah.
“Rhaka, jangan
tinggalin aku. Aku butuh kamu. Kita selalu bersama dari kecil, dan kamu nggak
boleh membiarkan aku sendirian disini tanpa kamu, Rhaka. ” isakku.
Mendadak, Rhaka
sesak nafas. Aku panik, dan memanggil dokter. Rhaka sempat mengucapkan bahwa
dia menyayangi orangtua dan keluarganya. Semenit kemudian, Rhaka menghembuskan
nafas terakhir. Kami berteriak histeris dan menangis di samping Rhaka. Ini
salahku, andai aku tak menolak Rhaka, takkan begini jadinya. Dan sekarang, aku
sangat kehilangan Rhaka, sahabatku.
Dua minggu
setelah kepergian Rhaka..
Kepergian Rhaka
menyisakan luka yang sangat dalam. Aku seperti kehilangan anggota tubuhku. Aku
kesepian, biasanya setiap aku melakukan kegiatan selalu ada Rhaka di sampingku.
Kak Tritan sudah
di Svalbard. Rasanya aku mati rasa, entah apa yang bisa kurasakan sekarang.
Sedih yang double, aku rasa begitu.
Ditinggal Rhaka, dan ditinggal juga oleh Kak Tritan.
Aku down selama dua minggu ini. Aku lebih
sering menyendiri di kamar daripada berkumpul bersama keluarga di Ruang santai.
Padahal telah berkali-kali Ibuku menghibur, dan menasihati agar aku mengikhlaskan
Rhaka.
Sebenarnya aku
sudah mengikhlaskan Rhaka, tetapi aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Aku
dihantui dengan perasaan bersalah. Ya Allah, maafkan hamba.
*****
Sekarang aku
menjadi seorang Dokter ahli Farmakologi. Sebenarnya aku ingin menjadi spesialis
kulit. Tetapi, entah kenapa aku merasa cocok di bidang Farmasi. Mungkin karena
Rhaka menyukai bidang Farmasi, pikirku.
Angin dingin
bertiup pelan, tetapi cukup menembus palto biru muda yang ku kenakan. Suasana
musim dingin di Kanada membuatku menggigil. Aku harus melanjutkan perjalanan,
menuju sebuah Seminar tentang kesehatan. Dan salah satu pembicara di seminar
itu adalah aku.
Orang-orang
Kanada menyambutku dengan ramah. Acara seminar berlangsung dengan sukses. Di
akhir acara, ada sesi foto bersama. Seketika aku terperanjat. Sosok orang yang
sudah lama tak kulihat, ternyata bisa kutemui disini. Sosok itu sangat aku
rindukan. Sekarang dia telah menjadi seorang wartawan yang hebat. Wartawan yang
bisa keliling dunia. Ya Allah, itu Kak Tritan.
Dia mendekatiku
dan tersenyum. Senyumnya begitu tulus, membuat hatiku meleleh. Aku membalas
senyumnya, dan menyapa
“Apa kabar, Kak
Tritan?”
“Alhamdulillah,
baik. Selamat ya Keira, kamu sudah sukses. Menjadi seorang dokter, dan sekarang menjadi pembicara di sebuah seminar
di negeri orang”
“Alhamdulillah.”
Aku tersipu malu. “kak Tritan juga seorang wartawan hebat. Bisa keliling dunia
ya haha” kataku.
“Hahaha,
Alhamdulillah.”
Kami mengobrol
dan bercanda tawa. Alangkah nikmatnya menghirup susu cokelat hangat bersama
pancake strawberry di musim dingin. Ditemani dengan orang yang ku rindukan.
Dihembus angin-angin usil.
Setelah lama
mengobrol, kami berfoto di bawah pohon yang penuh salju. Menikmati musim dingin
di Kanada. Benar-benar suasana yang mengagumkan.
Tiba-tiba Kak Tritan mengatakan,
“Keira, hm...aku mau ngomong.
"Hm?" aku menghadapkan wajahku ke arah Kak Tritan.
"Can
I be yours?”
Aku terhenyak.
Sepertinya Kak Tritan tahu kalau aku terkejut, dan badanku kaku seketika
seperti beku.
“Kamu tahu? Aku
mengagumi kamu sejak di SMA, dan sampai sekarang. Kamu orang yang spesial dan luar
biasa. Kamu juga yang membuat aku tetap semangat untuk menjadi seorang wartawan
seperti sekarang. Kamu menjadi seorag motivator dalam hidupku. Bisakah kamu menjadi milikku, Keira?”
tanyanya lagi.
Aku terdiam. Apa
yang harus kujawab? Tak pernah terbayang olehku kejadian seperti ini. Karena
selama ini aku hanya menyerahkan urusan cinta kepada Allah, biarlah Ia yang
mengaturnya. Sungguh, alangkah indah rencana Allah.
“Ehmm, okay. ”
Aku menjawab dengan gugup.
“Hh, you’re mine, and I’m yours now, haha”
ucapku pelan, namun jelas terdengar. Aku sangat bahagia, tak pernah terpikir
olehku bahwa kami bisa bersatu. Bersatu di tempat yang sangat spesial.
Perasaanku yang
kusembunyikan selama ini telah menemukan belahan yang lain. Dan membentuk love yang sempurna. Subhanallah! Alangkah
apik Allah merencanakan semuanya.
Aku yakin, pasti
Rhaka tersenyum melihatku sekarang. Senyumannya menembus langit 7 tingkatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar