Kepada hujan, aku pasrahkan apapun yang tengah kurasakan.
Kepada hujan, aku tidak perlu berpura-pura.
Kepada hujan, tidak ada yang perlu kusembunyikan
Kepada hujan, tidak perlu ada senyum palsu (lagi)
Kepada hujan, aku hadapkan wajahku ke langit.
Kepada hujan, aku biarkan air mata menetes ke tanah bersama air hujan.
Kepada hujan, aku biarkan airnya menghapus tangis lirih
Kepada hujan, aku lepaskan beban yang mengunci kerisauan
Kepada hujan, aku ceritakan apapun yang tidak kuceritakan kepada manusia
Kepada hujan.
Kepada hujan.
Kepada hujan.
Sekalipun dalam keramaian, hatiku punya bilik tersendiri
Tidak perlu tahu, biar aku dan Tuhan saja yang memahaminya.
Hiduplah dalam sebenar-benarnya diri kita
Tidak perlu ada peran palsu, kecuali jika itu membuat kita kuat.
Walau (sebenarnya) terkadang rapuh.
Bagaimana bisa membuat orang tersenyum sementara untuk tersenyum sendiri saja sulit?
Ah, pasti bisa. Kita diciptakan disertai dengan akal.
Ada saatnya kita berpura-pura bahagia, pura-pura senyum, atau pura-pura tertawa lepas.
Hanya pura-pura, kan?
Untuk apa menampilkan kesenduan di depan manusia
Mungkin saja mereka bukan tempat cerita yang aman
Bagaimana mungkin kita menambah beban mereka
Seakan semua masalah di dunia milik kita saja, ahahaha.
Sekali lagi aku katakan, hati kita semuanya kuat.
Bagaimana mungkin kita menceritakan masalah kepada seseorang, sementara masalah kita bukanlah satu-satunya masalah yang dia dengar.
Ada masalah orang lain padanya, banyak.
Bukankah spesial rasanya jika kita hanya menjadi satu-satunya bagi sesuatu atau seseorang?
Rumit ya?
Maksudku, setiap manusia itu fitrahnya tidak hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain.
Tapi seberapa dalam kepercayaan yang kita beri, menentukan seberapa berani kita kecewa terhadap sesuatu itu.
Aku memilih hujan.
Menceritakan kisahku kepada hujan.
Tentu saja hujan adalah tempat cerita keduaku setelah Tuhan.
Jumat hujan.
Palembang, 20 Maret 2015.
-Amrina R.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar