Jakarta, Kota 1000 Wajah
Jakarta,
kota yang diamanatkan menjadi ibukota negara kita Republik Indonesia memiliki
beribu cerita didalamnya. Kejadian demi kejadian silih berganti di tengah
ke”sumpek”an kota itu. Mungkin, bagi orang-orang yang tak terbiasa dengan kota
yang padat, pastilah amat membosankan tinggal di kota satu ini. Seperti tak ada
perbedaan siang dan malam. Sama saja. Sama ramai. Sama sumpek. Sama ribut. Sama
meriah.
Seperti
saya, layaknya seorang anak Sumatera yang belum terlalu kenal dengan pulau yang
60% penduduk Indonesia tinggal disana, tiba-tiba “dihadirkan” Allah didalamnya.
Dibilang terkejut, memang iya. Dibilang senang, juga iya haha. Setidaknya saya bisa
berada di kota ini walau hanya lewat sebagai jalur ke kota hujan. Bogor. Lucu
sih, saling melengkapi. Jakarta panas, Bogor dingin. Jakarta tempat hutannya
besi dan beton, Bogor tempat hutannya pohon-pohon tua. Serasi, itulah mengapa
penghuni ibukota kebanyakan menarik koper pada hari Sabtu untuk membiarkan
jiwanya menikmati indahnya Puncak Bogor. Dan kembali pada minggu sore. Tentu
saja pasti macet.
Tak mengapa.
Macet di ibukota sepertinya sudah menjadi ikon tersendiri. Tak mengapa, toh
bukan hanya itu masalah ibukota. Perkampungan kumuh di bibir rel-rel kereta api
juga layak disebut masalah. Pengamen dan penghuni jalanan juga pantas
dicatat masalah. Jangan lupakan, masalah
tak selalu yang kasat oleh mata. Korupsi, itu bahkan masalah yang berbungkus
elegan, dilakukan oleh orang-orang priai dan terjadi di gedung-gedung pencakar
langit, yang menggerogoti keuangan negara cepat atau lambat.
Kota itu dikurung gedung-gedung berkaca
Juga dikurung rumah-rumah kardus
Kota itu dihuni orang-orang yang perutnya selalu penuh
Juga dihuni oleh orang-orang yang perutnya selalu tak
berkecukupan
Kota itu memiliki banyak tawa
Juga memiliki banyak tangis dan rintih
Kota itu ditinggali banyak orang-orang berpendidikan
Juga ditinggali banyak orang yang tak mengenal huruf
Kota itu tempatnya orang-orang ber-duit
Juga tempatnya orang-orang melarat
Ironis memang,
Tapi setidaknya kita tidak hanya memandang dari satu
sisi
Setiap ada kanan pasti ada kiri
Setiap ada depan pasti ada belakang
Setiap ada bulan pasti ada bintang
Begitu juga hitam putihnya Jakarta
Walaupun..
Dibalik jas mengilap ada baju-baju lusuh
Dibalik gelak tawa ada rintihan menggugu
Dibalik gedung-gedung pencakar langit ada gunung
sampah
Dibalik rumah real estate ada gubuk-gubuk kardus
Dibalik senyum sesaat ada kelicikan
Dibalik dinding besar, ada yang cemas memikirkan
jiwanya esok hari
Dibalik gadget-gadget mahal ada nada dari gitar-gitar kecil
Biarlah, biarkanlah. Semesta memang selalu adil.
Mungkin bagi mereka yang lelah mencari manisnya hidup,
Memutuskan untuk berhenti memberi makan ruhaninya
Mungkin juga mereka tak sadar akan nikmat yang telah
diperoleh
Padahal nafas-nafas itu...
Nyawa-nyawa itu...
Akal-akal itu...
Hati-hati itu...
Semua itu karuniaNya, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa
Tapi
biarlah, biarlah ia begitu. Setidaknya Jakarta masih punya Indonesia, jangan
sampai suatu saat nanti kota itu bukan lagi di bawah naungan Indonesia.
Entahlah, tak banyak bicara. Mungkin, kota ini tengah dicicil oleh “calon”
penjajah. Mungkin...
Indonesia,
dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, aku mencintaimu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar