Minggu, 28 Oktober 2012

Cerpen- Tunggu aku di Eiffel



Tunggu aku di Eiffel!
Oleh : Amrina Rosyada



Karin masih duduk di depan laptopnya. Memandangi laptopnya dengan pandangan kosong. Tiba-tiba Nana menghampirinya. “Hei, kok masih disini? Udah azan tuh.” ajak Nana,  sambil menepuk pelan pundak Karin. “Iya, Bentar”. “Kenapa? Kamu ada masalah? Cerita dong, hehehe”, goda Nana. “Mm, nggak kok. Ya udah, ayo kita shalat.”. Karin berusaha mengalihkan perhatian Nana. Mereka berdua berjalan menuju masjid yang cukup besar yang berdiri di pekarangan sekolah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau mendengar azan, masjid akan ramai dengan murid-murid yang akan mengerjakan shalat.

Saat perjalanan menuju masjid, mereka melewati sebuah tempat yang dikerumuni banyak orang. “Nana, itu apa ya?” tanya Karin. “Gak tau. Nanti aja ngeliatnya, ke masjid dulu.” kata Nana. Mereka sampai di masjid dan mengerjakan shalat Zuhur. Di perjalanan dari masjid ke kelas, mereka menghampiri tempat yang tadi dikerumuni banyak orang. Ternyata ada pengumuman lomba karya tulis. Karin berniat mengikuti lomba itu. “Nana, kamu ikut ya?” ajak Karin. “Nggak ah, aku nggak bisa buat karya tulis.” tolak Nana halus. “Ya udah, temenin aku daftar ya nanti.”pinta Karin. “Oke”.

Seminggu sudah Karin mengerjakan karya tulis yang akan dilombakan. Ternyata Tino, teman cowok sekelasnya yang pintar juga ikut lomba itu. Banyak juga yang berminat dengan lomba itu, pikir Karin. Bahkan Daffa, pacar Karin yang katanya jago di lapangan hijau ikutan juga lomba itu. Kedengarannya aneh, pikir Karin lagi-lagi.

Malam itu, di kamar, Karin masih berkutat di depan laptopnya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi. Ada sms dari Daffa. “ Karin, kamu ikut lomba karya tulis kan? Aku, Maurah, dan teman-teman yang lain dari kelasku juga ikut. Kita bisa kerja bareng? Kamu kan pintar dalam hal menulis” . Begitu bunyi sms dari Daffa. “Terserah kamu, aku nggak keberatan.” Balas Karin dalam smsnya. “Bagaimana bisa Daffa tertarik ikut lomba begitu? Bukannya dia paling males dengan buku, trus Maurah itu kan cewek centil yang suka  sama Daffa, kok dia juga ikut sih” pikir Karin sambil manyun.

Tino baru masuk kelas, terlalu pagi. Suasana masih sepi. Hanya ada Karin dan dua anak perempuan lain. Tino mendekati Karin. “Hei cewek jutek.”sapa Tino sambil tersenyum. Karin melengos sambil manyun. Karin termasuk cewek yang ambisius, pintar , dan serius. Dia memang pacaran dengan Daffa, tetapi Karin menganggap hubungan mereka hanya hubungan teman biasa. Tetapi walaupun begitu Karin peduli banget sama Daffa, dan juga teman-temannya. “Yah, marah deh. Bercanda doang.”bujuk Tino.  Karin masih diam dan terpaku dengan buku yang sedang dibacanya. “Serius banget sih. Eh, pulang ini bisa revisi karya tulis aku bentar nggak?” tanya Tino. Karin menoleh. “Bentar aja ya? Soalnya aku mau kerja bareng sama Daffa.”jawab Karin. “Iya bentar doang.”

Bel masuk berbunyi. “Hampir telat, aduh” ujar Nana setengah berlari ke kelas. “Ah, kamu kebiasaan, Na” kata Karin. “Iya, maaf. Kita tampil nyanyi kan jam pertama ini.”tanya Nana. “Iyadong, lagu Tanah Air ku sama Gending Sriwijaya. Gimana, udah siap?”tanya Karin.  “Sip”.

Pukul 14.30, bel pulang berbunyi. Karin berjalan menuju ke taman sekolah. Taman sekolah sangat nyaman. Ada banyak pepohonan rindang, berbagai jenis bunga, dan tempat bersantai yang sejuk. Di taman sekolah juga termasuk area hotspot, jadi nggak heran kalo banyak murid yang betah berlama-lama di taman itu dengan laptopnya. Karin menunggu Daffa sudah hampir 10 menit.

Tak lama kemudian, Daffa datang dengan Maurah. Karin mengernyitkan dahi melihat mereka berdua. “Yang mau dibantuin siapa? Kamu aja kan?” tanya Karin. “Tadinya emang cuma aku aja. Tapi tadi Maurah maksa buat ikut kerja bareng.”jawab Daffa. “Jadi?” tanya Karin yang mulai badmood. “Yaudah, kita bertiga aja ya?”kata Daffa. “Kalo bukan karena kamu, aku nggak bakal mau nerima cewek centil ini” jawab Karin. Maurah melotot, dan tersenyum sinis.


Saat mengerjakan karya tulis, Karin merasa risih. Ia merasa yang pacar Daffa adalah Maurah, bukan dia. 30 menit berlalu. “Kamu mau kerja bareng dia atau sama aku?”tanya Karin yang mulai marah. “Kok gitu”Daffa balik bertanya. “Kamu tuh dari tadi cuma ngobrol sama dia ngebahas yang nggak penting!” jawab Karin dengan suara yang lebih tinggi. “Kamu mau tau kenapa? Karena selama aku pacaran sama kamu, kamu nggak pernah perhatiin aku, dan kamu juga nggak asyik kayak Maurah.”bentak Daffa.

“Oh, bener kan. Jadi emang udah lama kamu deket sama cewek centil ini. Silahkan aja. Eh, Daffa denger ya, aku sampai kapanpun nggak bakal mau pacaran dengan gaya centil dan norak kayak kamu dengan dia tuh. Lagian kamu kira selama ini aku tertarik sama cowok yang bodoh dan nakal kayak kamu! Putus!” bentak Karin, bahkan lebih keras dari Daffa.

Karin berlari membawa laptopnya menuju musholla. Disana ia langsung ke toilet. Ia menangis dan berusaha memadamkan kemarahannya. Ia bahkan nggak sadar ada yang memperhatikannya sejak ia masuk toilet. Nana dan Alisya.

Setelah mencuci muka, ia baru sadar bahwa ada Nana dan Alisya. Karin langsung berhambur memeluk dua sahabatnya. “Putus?” tanya Nana lembut. Karin mengangguk. “Syukur deh, akhirnya kamu bisa lepas dari cowok nakal itu.”celetuk Alisya. Karin mengangguk lagi, tersenyum, dan kembli memeluk dua sahabatnya. “Kamu pasti beum shalat Ashar. Ayo cepetan shalat dulu sana” suruh Alisya. Tanpa berkata apa-apa, Karin mengambil wudhu, dan mengerjakan shalat Ashar.


Setelah selesai mengerjakan shalat Ashar, Karin dan dua temannya pergi ke warung yang ada di depan sekolah. Keadaan sudah lebih baik. Mereka makan bersama, sambil bercanda dan tertawa-tawa. “Karin, kamu sedih nggak putus dari Daffa?’tanya Nana pelan-pelan. “Nggak kok. Emang dari awal pacaran, aku nggak tertarik kok sama dia. Jadi, putus juga nggak masalah”jawab Karin santai.

“Bener?”Alisya ikutan bertanya. “Iya.”jawab Karin mantap. “Yang kamu nangis tadi?”tanya Nana. “Kamu kan tau, kalo aku udah kelewat marah, pasti nangis. Aku sama sekali nggak sedih kok, lagian dia nggak pantes ditangisi. Kan aku punya Allah”ucap Karin sambil tersenyum. “Alhamdulillah”  Alisya dan Nana menyahut kompak.

Siang itu Karin duduk diteras depan rumah sambil menatap ke taman yang dipenuhi banyak bunga.Tiba tiba mama datang mengagetkannya.”Karin, mama dan papa mau pergi ke mall. Kamu mau ikut?”tanya Mama. “Oke ma, Karin ganti baju bentar.”jawab Karin.

Sesampainya di Mall, mereka membeli beberapa barang untuk keperluan masing-masing. Sekitar satu jam kemudian, mereka menuju ke sebuah restoran untuk makan. Ketika tengah makan, tiba-tiba seorang wanita separuh baya datang bersama seorang anak laki-laki yang kira-kira seumuran dengan Karin. Mama Karin terkejut, dan langsung memeluk perempuan itu. Ternyata perempuan itu adalah sahabat kecil mama Karin yang juga merupakan mama Tino. Akhirnya mereka makan bersama.

“Na, tadi aku ke mall. Trus ketemu sama Tino dan mamanya. Ternyata mama Tino tuh temennya mama aku, Na.”kata Karin di telepon. “Ah, masa? Unik ya?”. “Yee.. unik apa. Nyebelin, tadi aku malah disuruh temenin Tino beli buku, padahal aku mau beli jilbab.”curhat Karin. “Hahaha, nggak apa-apa Karin, nanti beli jilbabnya besok aja sama aku dan Alisya.”hibur Nana. “Oke, sip. Makasih Nana.” Karin menutup teleponnya.



Besoknya di sekolah.. “Tino, maaf ya. Kemarin aku nggak sempet revisi karya tulis kamu.”kata Karin. “Nggak apa-apa. Aku udah merevisi sama Tano kok.”jawab Tino. “Tano itu siapa?”tanya Karin. “Tano itu kembaran aku. Tapi sekolahnya nggak sama kayak aku.”jawab Tino. “Oo. Eh, hari ini aja kita kerjain karya tulis bareng-bareng di taman”. “Oke”.

Sepulang sekolah Karin dan Tino belajar bersama. Selesai dari belajar bersama, Karin dan teman-temannya pergi ke mall untuk membeli jilbab dan keperluan lain. Karya tulis sudah dikumpul. Pengumuman hanya tinggal 3 hari lagi.

Tak terasa, pengumuman lomba sudah terbit. Dan hasilnya, Karin menjadi pemenang lomba karya tulis. Karin senang sekali, dan ia merayakan bersama kedua temannya dan Tino.


Waktu terasa begitu cepat, hari-hari Karin berjalan begitu saja. Tiga bulan lagi mereka akan mengikuti Ujian Nasional. Setelah Ujian Nasional, mereka melanjutkan ke Universitas pilihan masing-masing. Karin berniat melanjutkan ke Universitas Padjajaran, sedangkan Tino akan melanjutkan ke Universitas Brawijaya. Itu berarti Tino akan pindah kota. Entah kenapa, sejak Karin dekat dengan Tino, ia merasa bahagia dekat dengan Tino. Ia sudah menganggap Tino sebagai sahabat.

Di kelas, saat jam istirahat, Karin, Tino dan teman-temannya ngobrol bersama. “Karin, kamu mau lanjut kemana?”tanya Tino. “Maksud kamu kuliah?”tanya Karin balik. Tino mengangguk. “Pengen ke Unpad, Bandung. Ya, di kota ini aja, soalnya nggak mau jauh dari orang tua, hehe” jawab Karin. “Yee, udah gede juga”olok Tino. “Biarin. Kamu mau kuliah dimana?”tanya Karin. “Unbraw, Malang”jawab Tino singkat.

Karin yang semula duduk, langsung berdiri. “Malang? Berarti kamu pindah kota dong?”ucap Karin dengan muka memelas. “Iya, emangnya kenapa?”tanya Tino dengan nada menggoda. “Nggak apa-apa, ya bukan apa-apa kok.”sambar Karin cepat. Aku mungkin nggak bisa ketemu lagi sama cowok pintar dan nyebelin kayak kamu, pikir Karin. Nana melirik ke Alisya. “Yaudah, mulai minggu depan kita belajar bareng yuk, nanti bergilir ke rumah siapa”usul Nana. “Oke” sahut teman-teman bersama.

            Karin masih terbayang tentang Tino yang akan kuliah ke Malang. Mungkinkah dia bisa punya sahabat kayak Tino lagi? Mungkinkah dia bisa ketemu lagi?. Siang itu, Karin duduk sendirian di taman sekolah. “Sendirian aja?” Tino menyapa. “Bikin kaget aja. Ayo, duduk sini”ajak Karin. Tino melirik ke laptop Karin. “Subhanallah, Eiffel.” Tino terkagum dengan gambar Menara Eifffel yang ada di laptop Karin. “Kamu suka Eiffel? Kok sama ya, hehehe”sambung  Karin.

            “Seandainya aku bisa ke menara Eiffel, bersama orang-orang yang kucintai.”Karin mendongak ke langit, membayangkan impiannya. “Seandainya aku bisa berada di Eiffel di saat sudah menjadi orang sukses nanti”Tino ikut berangan-angan pula.


            Ujian Nasional sudah selesai. Semua siswa-siswi telah dinyatakan lulus. Sekarang mereka tengah memprsiapkan diri untuk masuk Universitas pillihan masing-masing. Satu bulan selanjutnya mereka sudah menjadi mahasiwa di universitas masing-masing.


            Di bandara..

“Aku pergi ya,” Tino pamit kepada Karin. “Kamu sering-sering ya main ke Bandung”pesan Karin. “Sip”jawab Tino mantap. “Kamu jangan sedih gitu dong.”hibur Tino. “Gimana aku nggak sedih. Kamu itu orangnya asyik, nyari orang kayak kamu susah tau nggak.”jawab Karin sambil manyun. “Jadi maksud kamu,  aku langka gitu?”tanya Tino. Karin menjulurkan lidahnya.

“Eh, serius nih. Aku mau pergi.”kata Tino. Suasana hening. Karin mengangkat kepalanya perlahan. Tak terasa air matanya jatuh. Dadanya sesak dengan kesedihan akan perpisahan dengan Tino. Ia berusaha memaksakan untuk tersenyum, walaupun air matanya terus mengalir. Orang tua Tino yang memperhatikan mereka dari jauh, mulai mendekat dan memeluk Tino dengan erat. “Jaga diri kamu baik-baik nak.”pesan Mama Tino. “Insya Allah Ma, Pa.”jawab Tino memandangi wajah kedua orang tuanya dengan penuh rasa kasih sayang.

Tino mendekati Karin. “Kita akan ketemu lagi kan?”tanya Karin. “Insya Allah” jawab Tino. “Tunggu aku di Eiffel 5 tahun lagi tepat pada saat tahun baru”pesan Karin. “Insya Allah.”jawab Tino dengan jawaban yang sama. Karin tersenyum. “Pergilah. Jadilah orang yang membanggakan”pesan Karin. “Iya, kamu juga”jawab Tino. Karin melambaikan tangan, matanya basah oleh air mata. Tino membalas lambaian tangan Karin, dan berjalan memasuki Waiting Room.



5 tahun kemudian...

December’31th 2010

Salju menyelimuti kota Paris. Angin dingin bertiup halus, menusuk sampai ke dalam plato. Daun-daun seakan telah disihir menjadi putih bersih semua. Puncak-puncak pohon menjatuhkan salju-salju kecil karena terpaan angin. Jalanan tertimbun salju yang tebal. Tino mengencangkan platonya. Menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari kehangatan. Sepatu tebal yang dipakainya masih ditembus angin. Ia sekarang berada di bawah Eiffel. Ia memandangi menara Eiffel dengan perasaan yang sangat bahagia. Menara yang selama ini ia impikan sudah ada di depan mata.


“Udah lama?” Tino dikejutkan sebuah suara yang sangat ia kenal, suara yang telah lama tak didengarnya. Tino menoleh, dan tersenyum lebar. “Aku kira kamu nggak dateng”kata Tino. “Mana mungkin aku sengaja nggak dateng. Ternyata kamu beneran menunggu aku disini ya.”ujar Karin. “Alhamdulillah. Allah yang pertemukan kita disini.”jawab Tino.

Mereka makan malam di sebuah restoran sekitar menara Eiffel. Keduanya sangat menikmati suasana indah dibawah Menara Eiffel. Mereka saling bercerita tentang pengalaman mereka 5 tahun sebelumnya. Sekarang Karin adalah seorang Dokter ahli Farmakologi. Sedangkan Tino adalah pengusaha muda yang sukses di Paris.

Menjelang tengah malam, suasana semakin ramai. Eiffel begitu indah di malam hari. Tak heran banyak orang yang mengimpikan bisa menikmati keindahan Eiffel. Tino masih menghirup cokelat panas di gelasnya. “Aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi, di bawah menara Eiffel lagi.”kata Karin. “Aku juga seneng banget.”balas Tino sambil tersenyum. “Tino, selama ini aku kangen banget sama kamu”kata Karin. “Hahaha, cewek jutek kangen juga ya?”goda Tino. Karin manyun. “Eh iya iya, aku juga kangen sama kamu kok”kata Tino buru-buru, sebelum Karin marah. “Kamu percaya nggak kalo usaha yang sungguh-sungguh dan selalu berdoa itu bakalan berhasil?”tanya Tino. “Aku percaya”jawab Karin tersenyum.


“I love you”Tino membuat suasana hening. Sunyi. Karin keluar restoran dan berlari menuju Eiffel. Tino takut kalau Karin kecewa dan marah kepadanya.Tino pun berlari mengikuti Karin. Karin berhenti dan berdiri di sebelah Tino. Ia berteriak “Eiffel, you must know that I Love Tinooooo”. Tino tersenyum melihat tingkah Karin. Mereka saling tersenyum, dan berteriak “Thank you Allah. We really love you”.

1 komentar: