Tunggu aku di Eiffel!
Oleh : Amrina Rosyada
Karin masih duduk di depan laptopnya.
Memandangi laptopnya dengan pandangan kosong. Tiba-tiba Nana menghampirinya.
“Hei, kok masih disini? Udah azan tuh.” ajak Nana, sambil menepuk pelan pundak Karin. “Iya,
Bentar”. “Kenapa? Kamu ada masalah? Cerita dong, hehehe”, goda Nana. “Mm, nggak
kok. Ya udah, ayo kita shalat.”. Karin berusaha mengalihkan perhatian Nana.
Mereka berdua berjalan menuju masjid yang cukup besar yang berdiri di
pekarangan sekolah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau mendengar azan, masjid akan
ramai dengan murid-murid yang akan mengerjakan shalat.
Saat perjalanan menuju masjid, mereka
melewati sebuah tempat yang dikerumuni banyak orang. “Nana, itu apa ya?” tanya
Karin. “Gak tau. Nanti aja ngeliatnya, ke masjid dulu.” kata Nana. Mereka
sampai di masjid dan mengerjakan shalat Zuhur. Di perjalanan dari masjid ke
kelas, mereka menghampiri tempat yang tadi dikerumuni banyak orang. Ternyata
ada pengumuman lomba karya tulis. Karin berniat mengikuti lomba itu. “Nana,
kamu ikut ya?” ajak Karin. “Nggak ah, aku nggak bisa buat karya tulis.” tolak
Nana halus. “Ya udah, temenin aku daftar ya nanti.”pinta Karin. “Oke”.
Seminggu sudah Karin mengerjakan
karya tulis yang akan dilombakan. Ternyata Tino, teman cowok sekelasnya yang
pintar juga ikut lomba itu. Banyak juga yang berminat dengan lomba itu, pikir
Karin. Bahkan Daffa, pacar Karin yang katanya jago di lapangan hijau ikutan
juga lomba itu. Kedengarannya aneh, pikir Karin lagi-lagi.
Malam itu, di kamar, Karin masih
berkutat di depan laptopnya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi. Ada sms dari
Daffa. “ Karin, kamu ikut lomba karya tulis
kan? Aku, Maurah, dan teman-teman yang lain dari kelasku juga ikut. Kita bisa
kerja bareng? Kamu kan pintar dalam hal menulis” . Begitu bunyi sms dari
Daffa. “Terserah kamu, aku nggak
keberatan.” Balas Karin dalam smsnya. “Bagaimana bisa Daffa tertarik ikut
lomba begitu? Bukannya dia paling males dengan buku, trus Maurah itu kan cewek
centil yang suka sama Daffa, kok dia
juga ikut sih” pikir Karin sambil manyun.
Tino baru masuk kelas, terlalu pagi.
Suasana masih sepi. Hanya ada Karin dan dua anak perempuan lain. Tino mendekati
Karin. “Hei cewek jutek.”sapa Tino sambil tersenyum. Karin melengos sambil
manyun. Karin termasuk cewek yang ambisius, pintar , dan serius. Dia memang
pacaran dengan Daffa, tetapi Karin menganggap hubungan mereka hanya hubungan
teman biasa. Tetapi walaupun begitu Karin peduli banget sama Daffa, dan juga
teman-temannya. “Yah, marah deh. Bercanda doang.”bujuk Tino. Karin masih diam dan terpaku dengan buku yang
sedang dibacanya. “Serius banget sih. Eh, pulang ini bisa revisi karya tulis
aku bentar nggak?” tanya Tino. Karin menoleh. “Bentar aja ya? Soalnya aku mau
kerja bareng sama Daffa.”jawab Karin. “Iya bentar doang.”
Bel masuk berbunyi. “Hampir telat,
aduh” ujar Nana setengah berlari ke kelas. “Ah, kamu kebiasaan, Na” kata Karin.
“Iya, maaf. Kita tampil nyanyi kan jam pertama ini.”tanya Nana. “Iyadong, lagu
Tanah Air ku sama Gending Sriwijaya. Gimana, udah siap?”tanya Karin. “Sip”.
Pukul 14.30, bel pulang berbunyi.
Karin berjalan menuju ke taman sekolah. Taman sekolah sangat nyaman. Ada banyak
pepohonan rindang, berbagai jenis bunga, dan tempat bersantai yang sejuk. Di
taman sekolah juga termasuk area hotspot, jadi nggak heran kalo banyak murid
yang betah berlama-lama di taman itu dengan laptopnya. Karin menunggu Daffa
sudah hampir 10 menit.
Tak lama kemudian, Daffa datang
dengan Maurah. Karin mengernyitkan dahi melihat mereka berdua. “Yang mau
dibantuin siapa? Kamu aja kan?” tanya Karin. “Tadinya emang cuma aku aja. Tapi
tadi Maurah maksa buat ikut kerja bareng.”jawab Daffa. “Jadi?” tanya Karin yang
mulai badmood. “Yaudah, kita bertiga aja ya?”kata Daffa. “Kalo bukan karena
kamu, aku nggak bakal mau nerima cewek centil ini” jawab Karin. Maurah melotot,
dan tersenyum sinis.
Saat mengerjakan karya tulis, Karin
merasa risih. Ia merasa yang pacar Daffa adalah Maurah, bukan dia. 30 menit
berlalu. “Kamu mau kerja bareng dia atau sama aku?”tanya Karin yang mulai
marah. “Kok gitu”Daffa balik bertanya. “Kamu tuh dari tadi cuma ngobrol sama
dia ngebahas yang nggak penting!” jawab Karin dengan suara yang lebih tinggi.
“Kamu mau tau kenapa? Karena selama aku pacaran sama kamu, kamu nggak pernah
perhatiin aku, dan kamu juga nggak asyik kayak Maurah.”bentak Daffa.
“Oh, bener kan. Jadi emang udah lama
kamu deket sama cewek centil ini. Silahkan aja. Eh, Daffa denger ya, aku sampai
kapanpun nggak bakal mau pacaran dengan gaya centil dan norak kayak kamu dengan
dia tuh. Lagian kamu kira selama ini aku tertarik sama cowok yang bodoh dan
nakal kayak kamu! Putus!” bentak Karin, bahkan lebih keras dari Daffa.
Karin berlari membawa laptopnya
menuju musholla. Disana ia langsung ke toilet. Ia menangis dan berusaha
memadamkan kemarahannya. Ia bahkan nggak sadar ada yang memperhatikannya sejak
ia masuk toilet. Nana dan Alisya.
Setelah mencuci muka, ia baru sadar
bahwa ada Nana dan Alisya. Karin langsung berhambur memeluk dua sahabatnya.
“Putus?” tanya Nana lembut. Karin mengangguk. “Syukur deh, akhirnya kamu bisa
lepas dari cowok nakal itu.”celetuk Alisya. Karin mengangguk lagi, tersenyum,
dan kembli memeluk dua sahabatnya. “Kamu pasti beum shalat Ashar. Ayo cepetan
shalat dulu sana” suruh Alisya. Tanpa berkata apa-apa, Karin mengambil wudhu,
dan mengerjakan shalat Ashar.
Setelah selesai mengerjakan shalat
Ashar, Karin dan dua temannya pergi ke warung yang ada di depan sekolah.
Keadaan sudah lebih baik. Mereka makan bersama, sambil bercanda dan
tertawa-tawa. “Karin, kamu sedih nggak putus dari Daffa?’tanya Nana
pelan-pelan. “Nggak kok. Emang dari awal pacaran, aku nggak tertarik kok sama
dia. Jadi, putus juga nggak masalah”jawab Karin santai.
“Bener?”Alisya ikutan bertanya.
“Iya.”jawab Karin mantap. “Yang kamu nangis tadi?”tanya Nana. “Kamu kan tau,
kalo aku udah kelewat marah, pasti nangis. Aku sama sekali nggak sedih kok,
lagian dia nggak pantes ditangisi. Kan aku punya Allah”ucap Karin sambil
tersenyum. “Alhamdulillah” Alisya dan
Nana menyahut kompak.
Siang itu Karin duduk diteras depan rumah
sambil menatap ke taman yang dipenuhi banyak bunga.Tiba tiba mama datang
mengagetkannya.”Karin, mama dan papa mau pergi ke mall. Kamu mau ikut?”tanya
Mama. “Oke ma, Karin ganti baju bentar.”jawab Karin.
Sesampainya di Mall, mereka membeli
beberapa barang untuk keperluan masing-masing. Sekitar satu jam kemudian, mereka menuju ke sebuah restoran untuk makan. Ketika tengah makan, tiba-tiba seorang wanita separuh baya datang bersama seorang anak laki-laki yang kira-kira seumuran dengan Karin. Mama Karin terkejut, dan langsung memeluk perempuan itu. Ternyata perempuan itu adalah sahabat kecil mama Karin yang juga merupakan mama Tino. Akhirnya mereka makan bersama.
“Na, tadi aku ke mall. Trus ketemu sama Tino dan mamanya. Ternyata mama Tino tuh temennya mama aku, Na.”kata Karin di telepon. “Ah, masa? Unik ya?”. “Yee.. unik apa. Nyebelin, tadi aku malah disuruh temenin Tino beli buku, padahal aku mau beli jilbab.”curhat Karin. “Hahaha, nggak apa-apa Karin, nanti beli jilbabnya besok aja sama aku dan
Alisya.”hibur Nana. “Oke, sip. Makasih Nana.” Karin menutup teleponnya.
Besoknya di sekolah.. “Tino, maaf ya.
Kemarin aku nggak sempet revisi karya tulis kamu.”kata Karin. “Nggak apa-apa.
Aku udah merevisi sama Tano kok.”jawab Tino. “Tano itu siapa?”tanya Karin. “Tano itu
kembaran aku. Tapi sekolahnya nggak sama kayak aku.”jawab Tino. “Oo. Eh, hari
ini aja kita kerjain karya tulis bareng-bareng di taman”. “Oke”.
Sepulang sekolah Karin dan Tino
belajar bersama. Selesai dari belajar bersama, Karin dan teman-temannya pergi
ke mall untuk membeli jilbab dan keperluan lain. Karya tulis sudah dikumpul.
Pengumuman hanya tinggal 3 hari lagi.
Tak terasa, pengumuman lomba sudah
terbit. Dan hasilnya, Karin menjadi pemenang lomba karya tulis. Karin senang
sekali, dan ia merayakan bersama kedua temannya dan Tino.
Waktu terasa begitu cepat, hari-hari
Karin berjalan begitu saja. Tiga bulan lagi mereka akan mengikuti Ujian
Nasional. Setelah Ujian Nasional, mereka melanjutkan ke Universitas pilihan
masing-masing. Karin berniat melanjutkan ke Universitas Padjajaran, sedangkan
Tino akan melanjutkan ke Universitas Brawijaya. Itu berarti Tino akan pindah
kota. Entah kenapa, sejak Karin dekat dengan Tino, ia merasa bahagia dekat
dengan Tino. Ia sudah menganggap Tino sebagai sahabat.
Di kelas, saat jam istirahat, Karin,
Tino dan teman-temannya ngobrol bersama. “Karin, kamu mau lanjut kemana?”tanya
Tino. “Maksud kamu kuliah?”tanya Karin balik. Tino mengangguk. “Pengen ke
Unpad, Bandung. Ya, di kota ini aja, soalnya nggak mau jauh dari orang tua,
hehe” jawab Karin. “Yee, udah gede juga”olok Tino. “Biarin. Kamu mau kuliah
dimana?”tanya Karin. “Unbraw, Malang”jawab Tino singkat.
Karin yang semula duduk, langsung
berdiri. “Malang? Berarti kamu pindah kota dong?”ucap Karin dengan muka
memelas. “Iya, emangnya kenapa?”tanya Tino dengan nada menggoda. “Nggak
apa-apa, ya bukan apa-apa kok.”sambar Karin cepat. Aku mungkin nggak bisa
ketemu lagi sama cowok pintar dan nyebelin kayak kamu, pikir Karin. Nana
melirik ke Alisya. “Yaudah, mulai minggu depan kita belajar bareng yuk, nanti
bergilir ke rumah siapa”usul Nana. “Oke” sahut teman-teman bersama.
Karin masih
terbayang tentang Tino yang akan kuliah ke Malang. Mungkinkah dia bisa punya
sahabat kayak Tino lagi? Mungkinkah dia bisa ketemu lagi?. Siang itu, Karin
duduk sendirian di taman sekolah. “Sendirian aja?” Tino menyapa. “Bikin kaget
aja. Ayo, duduk sini”ajak Karin. Tino melirik ke laptop Karin. “Subhanallah,
Eiffel.” Tino terkagum dengan gambar Menara Eifffel yang ada di laptop Karin.
“Kamu suka Eiffel? Kok sama ya, hehehe”sambung
Karin.
“Seandainya
aku bisa ke menara Eiffel, bersama orang-orang yang kucintai.”Karin mendongak
ke langit, membayangkan impiannya. “Seandainya aku bisa berada di Eiffel di
saat sudah menjadi orang sukses nanti”Tino ikut berangan-angan pula.
Ujian
Nasional sudah selesai. Semua siswa-siswi telah dinyatakan lulus. Sekarang
mereka tengah memprsiapkan diri untuk masuk Universitas pillihan masing-masing.
Satu bulan selanjutnya mereka sudah menjadi mahasiwa di universitas
masing-masing.
Di bandara..
“Aku pergi ya,” Tino pamit kepada
Karin. “Kamu sering-sering ya main ke Bandung”pesan Karin. “Sip”jawab Tino
mantap. “Kamu jangan sedih gitu dong.”hibur Tino. “Gimana aku nggak sedih. Kamu
itu orangnya asyik, nyari orang kayak kamu susah tau nggak.”jawab Karin sambil
manyun. “Jadi maksud kamu, aku langka
gitu?”tanya Tino. Karin menjulurkan lidahnya.
“Eh, serius nih. Aku mau pergi.”kata
Tino. Suasana hening. Karin mengangkat kepalanya perlahan. Tak terasa air
matanya jatuh. Dadanya sesak dengan kesedihan akan perpisahan dengan Tino. Ia
berusaha memaksakan untuk tersenyum, walaupun air matanya terus mengalir. Orang
tua Tino yang memperhatikan mereka dari jauh, mulai mendekat dan memeluk Tino
dengan erat. “Jaga diri kamu baik-baik nak.”pesan Mama Tino. “Insya Allah Ma,
Pa.”jawab Tino memandangi wajah kedua orang tuanya dengan penuh rasa kasih
sayang.
Tino mendekati Karin. “Kita akan
ketemu lagi kan?”tanya Karin. “Insya Allah” jawab Tino. “Tunggu aku di Eiffel 5
tahun lagi tepat pada saat tahun baru”pesan Karin. “Insya Allah.”jawab Tino
dengan jawaban yang sama. Karin tersenyum. “Pergilah. Jadilah orang yang
membanggakan”pesan Karin. “Iya, kamu juga”jawab Tino. Karin melambaikan tangan,
matanya basah oleh air mata. Tino membalas lambaian tangan Karin, dan berjalan
memasuki Waiting Room.
5 tahun kemudian...
December’31th 2010
Salju menyelimuti kota Paris. Angin
dingin bertiup halus, menusuk sampai ke dalam plato. Daun-daun seakan telah
disihir menjadi putih bersih semua. Puncak-puncak pohon menjatuhkan salju-salju
kecil karena terpaan angin. Jalanan tertimbun salju yang tebal. Tino
mengencangkan platonya. Menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari
kehangatan. Sepatu tebal yang dipakainya masih ditembus angin. Ia sekarang
berada di bawah Eiffel. Ia memandangi menara Eiffel dengan perasaan yang sangat
bahagia. Menara yang selama ini ia impikan sudah ada di depan mata.
“Udah lama?” Tino dikejutkan sebuah
suara yang sangat ia kenal, suara yang telah lama tak didengarnya. Tino
menoleh, dan tersenyum lebar. “Aku kira kamu nggak dateng”kata Tino. “Mana
mungkin aku sengaja nggak dateng. Ternyata kamu beneran menunggu aku disini
ya.”ujar Karin. “Alhamdulillah. Allah yang pertemukan kita disini.”jawab Tino.
Mereka makan malam di sebuah restoran
sekitar menara Eiffel. Keduanya sangat menikmati suasana indah dibawah Menara
Eiffel. Mereka saling bercerita tentang pengalaman mereka 5 tahun sebelumnya.
Sekarang Karin adalah seorang Dokter ahli Farmakologi. Sedangkan Tino adalah
pengusaha muda yang sukses di Paris.
Menjelang tengah malam, suasana
semakin ramai. Eiffel begitu indah di malam hari. Tak heran banyak orang yang
mengimpikan bisa menikmati keindahan Eiffel. Tino masih menghirup cokelat panas
di gelasnya. “Aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi, di bawah menara Eiffel
lagi.”kata Karin. “Aku juga seneng banget.”balas Tino sambil tersenyum. “Tino,
selama ini aku kangen banget sama kamu”kata Karin. “Hahaha, cewek jutek kangen
juga ya?”goda Tino. Karin manyun. “Eh iya iya, aku juga kangen sama kamu
kok”kata Tino buru-buru, sebelum Karin marah. “Kamu percaya nggak kalo usaha
yang sungguh-sungguh dan selalu berdoa itu bakalan berhasil?”tanya Tino. “Aku
percaya”jawab Karin tersenyum.
“I love you”Tino membuat suasana
hening. Sunyi. Karin keluar restoran dan berlari menuju Eiffel. Tino takut
kalau Karin kecewa dan marah kepadanya.Tino pun berlari mengikuti Karin. Karin
berhenti dan berdiri di sebelah Tino. Ia berteriak “Eiffel, you must know that
I Love Tinooooo”. Tino tersenyum melihat tingkah Karin. Mereka saling
tersenyum, dan berteriak “Thank you Allah. We really love you”.
berbakat dari kecil... excellence
BalasHapus