Jumat, 03 Januari 2014

Jakarta, Kota 1000 Wajah


Jakarta, Kota 1000 Wajah


Jakarta, kota yang diamanatkan menjadi ibukota negara kita Republik Indonesia memiliki beribu cerita didalamnya. Kejadian demi kejadian silih berganti di tengah ke”sumpek”an kota itu. Mungkin, bagi orang-orang yang tak terbiasa dengan kota yang padat, pastilah amat membosankan tinggal di kota satu ini. Seperti tak ada perbedaan siang dan malam. Sama saja. Sama ramai. Sama sumpek. Sama ribut. Sama meriah.

Seperti saya, layaknya seorang anak Sumatera yang belum terlalu kenal dengan pulau yang 60% penduduk Indonesia tinggal disana, tiba-tiba “dihadirkan” Allah didalamnya. Dibilang terkejut, memang iya. Dibilang senang, juga iya haha. Setidaknya saya bisa berada di kota ini walau hanya lewat sebagai jalur ke kota hujan. Bogor. Lucu sih, saling melengkapi. Jakarta panas, Bogor dingin. Jakarta tempat hutannya besi dan beton, Bogor tempat hutannya pohon-pohon tua. Serasi, itulah mengapa penghuni ibukota kebanyakan menarik koper pada hari Sabtu untuk membiarkan jiwanya menikmati indahnya Puncak Bogor. Dan kembali pada minggu sore. Tentu saja pasti macet.

Tak mengapa. Macet di ibukota sepertinya sudah menjadi ikon tersendiri. Tak mengapa, toh bukan hanya itu masalah ibukota. Perkampungan kumuh di bibir rel-rel kereta api juga layak disebut masalah. Pengamen dan penghuni jalanan juga pantas dicatat  masalah. Jangan lupakan, masalah tak selalu yang kasat oleh mata. Korupsi, itu bahkan masalah yang berbungkus elegan, dilakukan oleh orang-orang priai dan terjadi di gedung-gedung pencakar langit, yang menggerogoti keuangan negara cepat atau lambat.


Kota itu dikurung gedung-gedung berkaca

Juga dikurung rumah-rumah kardus

Kota itu dihuni orang-orang yang perutnya selalu penuh

Juga dihuni oleh orang-orang yang perutnya selalu tak berkecukupan

Kota itu memiliki banyak tawa

Juga memiliki banyak tangis dan rintih


Kota itu ditinggali banyak orang-orang berpendidikan

Juga ditinggali banyak orang yang tak mengenal huruf

Kota itu tempatnya orang-orang ber-duit

Juga tempatnya orang-orang melarat


Ironis memang,

Tapi setidaknya kita tidak hanya memandang dari satu sisi

Setiap ada kanan pasti ada kiri

Setiap ada depan pasti ada belakang

Setiap ada bulan pasti ada bintang

Begitu juga hitam putihnya Jakarta


Walaupun..

Dibalik jas mengilap ada baju-baju lusuh

Dibalik gelak tawa ada rintihan menggugu

Dibalik gedung-gedung pencakar langit ada gunung sampah

Dibalik rumah real estate ada gubuk-gubuk kardus

Dibalik senyum sesaat ada kelicikan

Dibalik dinding besar, ada yang cemas memikirkan jiwanya esok hari

Dibalik gadget-gadget mahal ada nada dari gitar-gitar kecil


Biarlah, biarkanlah. Semesta memang selalu adil.

Mungkin bagi mereka yang lelah mencari manisnya hidup,

Memutuskan untuk berhenti memberi makan ruhaninya

Mungkin juga mereka tak sadar akan nikmat yang telah diperoleh

Padahal nafas-nafas itu...

Nyawa-nyawa itu...

Akal-akal itu...

Hati-hati itu...

Semua itu karuniaNya, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa

Tapi biarlah, biarlah ia begitu. Setidaknya Jakarta masih punya Indonesia, jangan sampai suatu saat nanti kota itu bukan lagi di bawah naungan Indonesia. Entahlah, tak banyak bicara. Mungkin, kota ini tengah dicicil oleh “calon” penjajah. Mungkin...

Indonesia, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, aku mencintaimu...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar